Nasional

Majalah Risalah Edisi April Ulas Tanggung Jawab Berat NU

Ahad, 3 April 2016 | 01:04 WIB

Majalah Risalah edisi April 2016 terbit dengan isu utama “Beban Berat di Pundak NU”. Di rubrik isu utama, Redaksi menurunkan artikel berjudul Tanggung jawab NU Terhadap Bangsa dan Negara.

Artikel itu menyoroti peringatan hari lahir (harlah) ke-90 NU yang diselenggarakan di berbagai tempat beberapa waktu lalu, yang menandakan bahwa semua seolah-olah meletakkan harapan kepada NU untuk kelangsungan NKRI.

Usia 90 tahun bagi NU mencatatkan NU sebagai organisasi tua dengan anggota terbanyak di Indonesia, bahkan dunia. Selain itu, kader-kader NU juga mulai menampakkan prestasi. Di bidang pendidikan, juga mulai bangkit dan menggeliat, walau sedikit terlambat, catat Redaksi. Itu menadakan kesuksesan NU tak lepas dari pahit dan getir perjuangan para ulama NU.

Membicarakan NU juga tak bisa lepas dari organisasi-organisai massa keagamaan lainnya, yang juga memiliki usia hampir sebaya. Di antaranya Jemaat Khair yang berdiri sejak 1898, dibangun oleh Mufti Betawi Sayid USman bin Abdullah bin Yahya. Serekat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada 16 Oktober 1905 diprakarsai oleh Samanhudi, yang berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI).

Kemudian ada juga Perikatan Umat Islam (PUI) atau Perikatan Oemat Islam (POI) yang lahir di Majalengka dengan tokoh pendirinya KH Abdul Halim. Di Yogyakarta juga berdiri Muhammadiyah pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan.

Organiasai lainnya adalah Al Irsyad oleh Syaikh Ahmad Surkati pada 6 September 1914 di Jakarta. Dan di Banten ada sejumlah tokoh yang mendirikan Mathla'ul Anwar pada 10 Juli 1916. Di Bandung ada Persatuan Islam atau Persis didirikan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus pada 12 September 1923.

Selanjutnya ada Rabithah Alawiyin yang mendirikan organiasi untuk golongan sayid yang masih memiliki keturunan dengan Nabi Muhmmad pada 27 Desember 1928.

Organisasi-organisasi tersebut berada di Pulau Jawa. Di daerah lain pun berdiri berbagai organiasasi keagamaan lain. Di Sumatera Barat misalnya ada Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada 20 Mei 1930. Di Sumatera Utara ada Al Jam'iyatul Washliyah pada 30 November 1930. Lalu ada Al-Ittihadiyah pada 1935.

Mulai banyaknya organisai itu membuat KH Hasyim Asy'ari, didukung KH Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno (SI) mencetuskan adanya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937.

KH Hasyim Asy’ari menjadi ketua badan legislatif dengan 13 organisasi yang tergabung dalam MIAI. MIAI mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam menghadapi Belanda, seperti menolak UU perkawinan dan wajib miter bagi umat Islam.

Upaya menyatukan berbagai organisasi Islam berlanjut sampai saat ini. Dengan terpilihnya tokoh-tokoh dari NU yang menjadi Ketua MUI.

Redaksi Risalah edisi ini juga menurunkan wawancara dengan sejumlah tokoh, seperti Rais Syuriah PBNU, KH MA'ruf Amin; Prof. Dr. KH Chotibul Umam, Dr. Hasan Bin Adham, Dr. Nico Prucha, KH Muhammad Yusuf Chudlori,, Anggota DPR EEM Marhamah Zulfa His,  dan  Drs H Mujib Rahmat. Mereka berbicara seputar peran dan tugas besar NU.

KH Maruf Amin mengungkapkan, apa yang dicita-citakan NU sekarang adalah Islam yang moderat, yaitu Ahlussunah an-Nahdliyah. Dari sisi keagamaan, NU memelopori kekuatan yang bisa menerima sistem tatanegara Indonesia, yakni empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Sejak awal NU berkomitmen terhadap Indonesia, termasuk dalam penyusunan UUD 1945. Peran NU begitu besar dengan menjaga stabilitas, menjaga keutuhan  bangsa dan negara.

Adapun KH Chotibul Umam memaparkan bahwa NU saat ini perlu kader daerah.  Ia memandang kurangnya gairah NU di daerah, dan tidak berimbangnya antara perjalanan NU di pusat dan di daerah. Meratanya pengkaderan di semua tingkatan kepengurusan NU adalah hal yang perlu diwujudkan.

Sementara Dr Hasan Bin Adham mengatakan bahwa NU memiliki benteng pertahanan. Ia tidak menemukan di negaranya ataupun di negara-negara Timur Tengah yang ada di Indonesia, yaitu solidaritas dan toleransi, yang sangat dimiliki dan dikembangkan NU.

Dr. Nicho Prucha memaparkan harapan NU harus mendunia. NU harus menyuarakan ajarannya (ahlusunnah wal jamaah) secara masif terhadap organisasi-organisasi dan umat di penjuru dunia. Para pimpinan NU di Indonesia harus juga menyuarakan paham NU demi perjuangan panjang yakni perdamaian. (Kendi Setiawan)


Terkait