Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking Ai Maryati mengatakan masalah pekerja migran Indonesia adalah terkait dokumentasi. Hal ini sama keadannya dengan para imigran luar negeri di Indonesia.
Oleh karenanya KPAI mendorong agar Indonesia meratifikasi pekerja buruh migran dari luar negeri. Hal ini sebagai salah satu cara Indonesia untuk bisa berperan aktif di The ASEAN Convention Trafficking in Person especially Women and Children (ACTIP).
"Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan pencegahan, penanganan, dan pemulihan serta advokasi kebijakan dalam bidang trafficking," kata Ai Maryati kepada wartawan, Kamis (5/10).
Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah data trafficking anak pada 2016 mencapai 112 di ranah prostitusi online. Dengan adanya sejumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia, dibutuhkan sebuah intrumen internasional dalam rangka melindungi korban trafficking.
Terkait dengan korban trafficking, lanjut Maryati, KPAI akan terus memastikan apakah kepentingan korban bisa dilayani atau dijadikan agenda oleh pemerintah. Dalam hal ini tentu berharap pemerintah yang progresif melihat peluang bahwa agenda ACTIP ini menjadi peluang besar bagi terselenggaranya perlindungan korban di kawasan ASEAN.
“Tentu ini memberikan dampak yang luar biasa karena Indonesia adalah sending migran worker terbesar,” ujarnya.
Selain itu, KPAI meminta pemerintah melihat dampak ratifikasi karena di Indonesia juga menerima banyak pekerja migran dari luar negeri yang datang ke Indonesia.
Akan tetapi, ungkap dia, dengan ACTIP ini memberikan dukungan kepada seluruh negara yang terlibat dengan penerimaan dan pengiriman untuk memiliki komitmen perlindungan terhadap korban.
"Hal lainnya, KPAI tetap meminta kepada seluruh kementerian untuk memberikan telaah dan respon serta memberikan upaya-upaya untuk menjelaskan manfaat ratifikasi ACTIP," pungkasnya. (Nita Nurdiani Putri/Kendi Setiawan)