Nasional

KPAI Jelaskan Tiga Hal Kurangi Radikalisme Anak

Sabtu, 19 Mei 2018 | 02:30 WIB

KPAI Jelaskan Tiga Hal Kurangi Radikalisme Anak

Komisioner bidang Traficking dan Eksploitasi Anak (KPAI) Ai' Maryati Solihah

Jakarta, NU Online
Ledakan bom di Surabaya pada Ahad (13/5) lalu melibatkan anak sebagai eksekutor. Tentu hal ini menuai kecaman dan keprihatinan dari berbagai pihak. 

Komisioner bidang Traficking dan Eksploitasi Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai' Maryati Solihah mengatakan bahwa penyelesaian masalah keterlibatan anak dalam terorisme harus melibatkan keluarga. "Penanganannya harus melibatkan keluarga," katanya usai acara doa lintas iman yang digelar oleh PP Fatayat NU di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Jumat (18/5).

(Baca: Belasan Organisasi Perempuan Gelar Refleksi atas Kasus Terorisme)
Lebih lanjut Ai merinci penanganan tersebut ke tiga poin. Pertama, keluarga harus serius dalam pengasuhan. Menurutnya, keluarga merupakan garda terdepan sehingga harus menjalin komunikasi dengan anak secara terbuka.

Selain itu, potensi dan bakat anak harus didukung keluarga. "Fasilitasi men-support bakat minat yang harus didukung keluarga," kata Ketua Umum Korps PMII Putri 2005-2008 itu. 

(Baca: Peneliti DASPR Jelaskan Sebab dan Pencegahan Terorisme)

Kedua, kata Ai, lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal harus memastikan tidak terpapar radikalisme. Ia mencontohkan keengganan sekolah atau seseorang hormat terhadap bendera atau upacara merupakan salah satu gejala radikalisme. "Kita tidak mau meng-under estimate. Tetapi itu adalah gejala," ucapnya.

(Baca: Kedekatan Anak dengan Ibu Cegah Paham Radikal)
Pengurus PP Fatayat NU ini juga mengatakan bahwa peran pemerintah harus sudah bisa membedakan siap siaga dalam pencegahan konteks radikalisme dan kontraradikalisme. Ini menjadi hal ketiga.

Ai mengungkapkan bahwa anak sudah dilibatkan radikalisme dan terorisme. Oleh karena itu, deradikalisasi perlu ditingkatkan guna meredam keradikalan anak. Sebab, mereka, katanya, selalu dipertontonkan video radikalisme sehingga menganggap hal itu biasa. (Syakir NF/Kendi Setiawan)


Terkait