Surabaya, NU Online
Di sejumlah negara, nasib petani masih belum bisa sejahtera. Padahal mereka adalah pemilik lahan dan penyuplai sejumlah kebutuhan penting bagi masyarakat.
<>
Keprihatinan itu sangat terasa dari pandangan umum peserta pada pertemuan perempuan tingkat dunia atau International Women Assembly di Jakarta beberapa waktu lalu. Sejalan dengan itu, La Via Campesina (LVC) atau organisasi gerakan petani perempuan dunia merekomendasikan agar kondisi ini tidak berkelanjutan.
Nasib dan kesejahteraan para petani dapat terangkat seiring dengan kiprah dan sumbangsih mereka dalam memberikan stok pangan yang dibutuhkan masyarakat. Demikian disampaikan Athik Hidayatul Ummah, salah seorang peserta LVC kepada NU Online di Surabaya, Selasa (18/6).
Ketua Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri PMII) Jawa Timur ini menandaskan, bahwa hampir semua peserta mengeluhkan tidak ada peningkatan kesejahteraan para petani perempuan, “Tidak jarang mereka mengeluhkan adanya penindasan serta kekerasan yang dialami perempuan petani,” kata alumnus pascasarjana Universitas Negeri Malang ini.
Kongres keempat dan diselengarakan di Padepokan Pencak Silat Indonesia, Taman Mini di Jakarta ini membuat keputusan penting mengenai strategi ke depan, keaanggotaan baru, koordinator baru dan masalah internal penting lainnya.
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel ini tidak bisa menyembunyikan kegalauannya atas cerita yang disampaikan saat kongres berlangsung maupun ketika pembicaraan dengan sejumlah peserta tentang kekerasan yang diderita sejumlah petani perempuan.
“Ternyata, apa yang dialami mereka tidak jauh berbeda dengan yang kerap terjadi di tanah air,” katanya. “Bagaimana mungkin perempuan yang berprofesi sebagai pertani ternyata masih harus berhadapan dengan tugas domestik yang keduanya sama beratnya,” kata perempuan kelahiran 13 Januari 1988 ini.
Bagi Athik, kebutuhan pangan bagi masyarakat dunia adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Dengan demikian, dari sektor inilah masa depan dan kelangsungan hidup manusia dipertaruhkan.“Memperhatikan kesejahteraan dan perlakuan yang wajar kepada petani apalagi mereka yang berjenis kelamin perempuan, adalah sebuah keniscayaan,” tegasnya.
Disamping perhatian kepada nasib dan masa depan mereka, yang juga harus dilakukan adalah bagaimana para petani dapat dibimbing dengan pola tanam yang lebih baik. “Ini penting agar hasil pertanian kian produktif dan memiliki kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan,” lanjutnya.
Inilah makna penting dari pertemuan yang juga dihadiri Serikat Petani Indonesia (SPI) ini agar ada sinergi antara para petani di lapangan dengan penetu kebijakan di sejumlah negara.
Dari pertemuan yang rutin diselengarakan setiap empat tahun sekali ini mulai ada kesadaran untuk ditindaklanjuti dengan saling bertukar komoditas pertanian. “Diharapkan dengan tindaklanjut dan aksi itu, maka pengetahuan dan kesejahteraan para petani perempuan dapat semakin meningkat,” kata dosen UN Malang ini.
Kongres LVC merupakan agenda rutin 4 tahunan yang dihadiri organisasi-organisasi petani dari 76 negara. Pada kongres di Jakarta kali ini LVC mengesahkan 33 anggota baru yang berarti terhitung sebanyak 183 negara telah bergabung bersama dengan anggota negara baru lainnya seperti Palestina dan Taiwan.
Elizabeth Mpofu, dari organisasi petani Zimbabwe yang akan mulai menjadi tuan rumah sekretariat internasional LVC menyatakan pada tahun-tahun mendatang pihaknya akan terus meningkatkan diskusi mendalam dan komitmen kembali yang lebih intensif berkenaan dengan semua masalah kunci yang telah diputuskan selama konferensi global yang terakhir di Maputo, Mozambik.
Pada Deklarasi Maputo, LVC telah mencantumkan isu-isu penting seperti membangun gerakan kedaulatan pangan global dengan para aliansi, mendorong Deklarasi PBB mengenai Hak Asasi Petani, menentang perdagangan bebas dan perusahaan-perusahaan transnasional, mempromosikan reformasi agraria dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Redaktur : Abdullah Alawi
Kontributor : Syaifullah Ibnu Nawawi