Bandung, NU Online
Dari data yang diperoleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), angka kasus pelanggaran toleransi di Indonesia mengalami lonjakan dan penurunan. Tahun 2010 ada 34 peristiwa, tapi 2011 melonjak lima kali lipat hingga 174 kasus. Lalu tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 117 kasus, sementara tahun 2013 terdapat 118 kasus, dan 116 kasus di tahun 2014.
<>
Fenomena ini menunjukkan persoalan toleransi beragama bukanlah persoalan yang timbul tahap demi tahap, tapi persoalan yang awalnya adem, damai, tenang, tiba-tiba terbakar begitu saja. Ada hal yang perlu diperhatikan untuk melihat lonjakan drastis tentang perubahan apa yang terjadi di negeri ini sehingga menimbulkan permasalahan toleransi beragama yang terjadi hingga saat ini.
Demikian disampaikan Satrio Wiratanu, Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras, sebagai pemateri dalam acara Diskusi Publik bertajuk "Masalah dan Masa Depan Toleransi Beragama di Indonesia" yang berlangsung di aula fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jumat siang (13/3).
Satrio menjelaskan, pelanggaran toleransi beragama pada tahun 2011 motifnya cenderung berbentuk kekerasan, penganiayaan, pengrusakan harta benda, penutupan hingga pembekaran tempat ibadah, bahkan sampai pembunuhan terhadap kelompok-kelompok minoritas.
"Setelah tahun 2011, pelanggaran lebih cenderung pada bentuk ucapan atau seruan penyesatan yang secara akademis dinamakan hate speech (syiar kebencian). Misalnya memvonis kafir atau sesat yang disertai dengan pernyataan (fatwa) layak dibunuh atau halal darahnya," sambungnya dalam acara yang bekerja sama dengan PC PMII Kota Bandung itu.
Dalam konteks internasional, mengutip data yang diperoleh Kontras, Satrio mengungkapkan hasil penelitian tentang kadar konflik keagamaan di suatu Negara. Dari 198 negara pada tahun 2012, Indonesia menempati posisi kesepuluh dalam hal konflik keagamaan. Sedangkan Pakistan berada di posisi pertama, disusul Afghanistan dan India di tempat kedua dan ketiga. Sementara tahun 2013, Indonesia turun pada posisi ketiga belas.
Sedangkan dalam hal pembatasan praktik keagamaan yang dilakukan Pemerintah, tahun 2012 Indonesia tercatat posisi kelima, di bawah Mesir, China, Iran dan Saudi Arabia. Namun Indonesia naik di peringkat kedua pada tahun 2013, dan China menduduki posisi pertama.
“Tapi saya ragu, misalkan (posisi) kita akan turun pada tahun-tahun setelahnya. Karena melihat pada tahun 2014, banyak bermunculan peraturan-peraturan syariah yang sifatnya banyak membatasi praktik-praktik atau hak-hak keagamaan. Dalam posisi kita, bagaimana cara memperbaikinya?” ujarnya di hadapan puluhan mahasiswa yang memenuhi diskusi tersebut.
Usai pemateri menyampaikan paparannya, peserta diskusi publik yang didominasi kader-kader PMII Kota Bandung itu menanyakan berbagai hal terkait fenomena inteloransi beragama, cara menangani konflik keagaman, maupun soal pengalaman Kontras dalam mengadvokasi kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi. (Muhammad Zidni Nafi’/Mahbib)