Nasional

Konflik Keagamaan sebaiknya tidak Diselesaikan di Pengadilan

Rabu, 14 November 2012 | 07:22 WIB

Jakarta, NU Online
Guru Besar UIN Jakarta Masykuri Abdillah berpendapat, konflik yang terkait dengan persoalan keagamaan sebaiknya tidak diselesaikan di pengadilan karena kalau hasilnya tidak dipahami oleh masyarakat, keputusan tersebut juga tidak dapat dieksekusi sehingga bisa menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks. <>

Persoalan keagamaan yang muncul biasanya dikategorikan dalam tiga hal, pertama, menyangkut pendirian rumah ibadah, kedua, terkait penodaan dan penistaan agama dan ketiga, penyiaran agama. Satu kelompok agama seringkali berdalih atas nama kebebasannya untuk melakukan aktifitas keagamaan, padahal disisi lain, menurut pada 28 J UUD 1945, terdapat pembatasan HAM untuk ketertiban.

Terkait Indonesia yang dikritik atas persoalan HAM dalam sidang komisi HAM PBB beberapa waktu lalu, sebenarnya, ini hanya catatan dari banyaknya prestasi yang dicapai Indonesia. 

Ia menuturkan, sikap anti agama di Eropa dan Amerika yang selama ini seolah-olah memberi kebebasan dalam penyebaran agama ternyata tidak benar. Islamophbia terjadi di mana-mana.

Di Italia, Islam ditempatkan di posisi kelas empat setelah Katolik, dan Kristen, Yahudi Hindu Budha dan Islam,. Umat Islam selalu kesulitan dalam membangun masjid, atau boleh mendirikan masjid, tetapi tidak diizinkannya menjadi pusat kebudayaan. 

“Dalam hal rumah ibadah, kita jauh lebih toleran,” jelasnya dalam sebuah diskusi di gedung PBNU baru-baru ini.


Penulis: Mukafi Niam


Terkait