Jakarta, NU Online
Syekh Adnan Al-Afyouni, ulama Suriah, menyatakan bahwa Suriah merupakan negara yang sangat aman, bahkan melebihi Eropa. Hal ini pun dibenarkan oleh para alumninya.
Lebih dari itu, masyarakat Suriah juga sangat suka melihat pelajar asing. Terlebih jika mereka menemui pelajar yang terbata-bata berbahasa Arab. Jika demikian, Ahsin Mahrus, pelajar Indonesia di Damaskus mengatakan bahwa pelajar tersebut pasti 'disalami' dan diberi uang.
Hal ini ia ceritakan saat menjadi narasumber pada seminar bertajuk Jangan Suriahkan Indonesia di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (1/11).
Bahkan, lanjutnya, tak jarang mahasiswa yang kehabisan uang menunjukkan diri terbata-bata bahasa Arab agar mendapatkan uang, sedekah dari masyarakat Suriah.
Ada kelompok yang lebih dari sekadar saat kehabisan uang, yakni Ashabul Imad, orang yang memiliki tiang. Sekelompok orang itu menggantungkan hidupnya yang sedekah dari masyarakat Suriah di tiang Umawi.
Di samping itu, pondok-pondok di Aleppo juga menggratiskan pendidikannya. Para santrinya juga diberi buku-buku dan makan. Bahkan sampai tiket kepulangan ke negaranya.
Ahsin juga menjelaskan bahwa ulama di sana tidak meminta bayaran. Tak jarang ulama itu memberikan sesuatu kepada para muridnya.
Saat Konflik
Semua hal di atas berubah 180 derajat saat konflik meletup. Tiang Umawi tak lagi ada, para ulama mengamankan diri dengan keluar dari Suriah, barang yang sebelumnya murah sudah melonjak jauh lebih mahal dan hal yang paling banyak terjadi adalah sikap saling curiga satu sama lain.
Hal terakhir ini, kata Ahsin, muncul manakala sudah ada penyebutan aku-kamu, bukan lagi kita. "Kamu dari mana?" misalnya. Dalam benak penanya, pasti ada pikiran apakah mitra bicaranya itu termasuk dari bagian kelompoknya atau justru berseberangan dengannya.
Ia juga menganalogikan dengan ajakan ngopi. Seseorang ditanya ke mana ia mau pergi. Orang tersebut menjawab hendak ke warkop A untuk ngopi. Namun, orang penanya itu mengajak ke warkop B dengan menunjukkan sisi buruk warkop A itu.
"Di situlah terjadi fitnah, konflik. Hal berbeda jika si penanya tadi menunjukkan sisi baik warkop B tanpa menyebutkan sisi buruk warkop A," jelasnya.
Oleh karena itu, ia bertanya, "Kenapa sih kita tidak belajar dari Suriah?"
Mengutip Syekh Ramadhan al-Buthi, ia mengatakan bahwa ketika pintu fitnah itu dibuka, hanya orang cerdas yang mengetahuinya sejak awal. Orang biasa mengetahuinya setelah semuanya telah terjadi. "Gunakan akal sehatmu untuk mencerna," pungkasnya.(Syakir NF/Muiz)