Nasional

KH Said Aqil Siroj: Bersyukurlah atas Tiga Hal

Senin, 16 April 2012 | 05:51 WIB

Salatiga, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said Aqil Siradj saat memberikan mauidhoh hasanah dalam pengajian umum peringatan 10 tahun Yayasan Al-Hikmah yang diselenggarakan alumni Pondok Pesantren Al-Ittihad Poncol Salatiga di halaman dalam yayasan tersebut, Ahad (15/4).<>

Kiai Said menguraikan tentang tiga syukur di hadapan sekitar seribu hadirin. Bersukurlah atas tiga hal. Pertama sebagai manusia, dua sebagai orang beriman atau beragama Islam. Ketiga sebagai warga nahdliyin. 

“Kita patut bersyukur karena diciptakan sebagai manusia. Terlebih kita telah beriman dan memeluk agama Islam. Bersyukur pula kita manut ulama, ikut jadi warga NU,” tutur kiai asal Cirebon yang akrab dipanggil Kang Said ini. 

Kiai Said menjelaskan, menjadi manusia harus disyukuri, karena dikaruniai akal dan nafsu, sehingga bisa mereguk kenikmatan di dunia maupun di akhirat jika akal bisa digunakan untuk mengendalikan nafsu. Beda dengan binatang yang hanya diberi naluri dan malaikat yang tidak diberi nafsu. 

Namun dia katakan, hanya dengan iman manusia bisa mengendalikan nafsunya. Jika akal tidak disertai iman, maka nafsulah yang berkuasa. Akibatnya, orang berbuat kerusakan di bumi maupun di langit. Lalu jatuh harga dirinya sebagai makhluk paling istimewa. 

“Jika nafsu menguasai akal kita, maka pernsiun saja sebagai manusia. Karena kita telah menjadi makhluk yang hina. Lebih hina dari binatang,” cetusnya. 

Contoh kerusakan yang saat ini melanda bangsa Indonesia, kata dia, perilaku orang di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang mengedepankan kepentingannya sendiri seraya mengalahkan kebenaran. Demi nafsunya mereka mengingkati dan menginjak kebenaran. 

“Rusaknya negeri kita saat ini, karena terlalu banyaknya orang di dalam kekuasaan yang mengedepankan nafsunya dengan menginjak kebenaran,” tandasnya seraya mengutip beberapa ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi. 

Nikmat kedua, memeluk agama Islam. Nikmat iman ini, kata Kiai Said, harus disyukuri. Sebab dengan menjadi muslim, manusia mendapatkan bimbingan yang sempurna untuk menjadi mulia. 

Dengan tuntunan Al-Qur'an, setiap muslim bisa menjadi orang yang baik, bermanfaat dan benar dalam hidup di dunia. Sehingga kelak di akhirat diberi ganjaran surga. 

“Kita ini harus bersyukur karena menjadi muslim. Kalau tidak ada Islam, kita mungkin tetap jahiliyyah seperti sebelum datangnya Rasulullah,” jelasnya. 

Berikutnya, nikmat yang patut disyukuri adalah menjadi warga NU. Tanpa basa basi Kang Said menerangkan, NU merupakan jam’iyyah yang mengayomi, menjaga dan menjadi wadah yang damai bagi siapa saja. 

Meski orang-orang Islam berbeda partai politik dan mereka mungkin bertengkar karena kepentingan kekuasaan, kala berkumpul di kantor NU, bisa rukun dan bercanda penuh tawa. 

Lebih dari itu, NU menjadikan Indonesia maupun Islam tetap stabil dalam damai. Di negara-negara Arab yang memang tidak ada ormas semacam NU, yang ada hanya partai politik atau organisasi berbasis ideologi. Begitu berkonflik, terjadi perang saudara. Bedil dan bom yang bicara. 

“Bersyukurlah kita memiliki NU dan menjadi warga NU. Kerukunan dan kedamaian bisa kita dapatkan. Kalau di Arab, begitu ada konflik, terjadi perang bersenjata,” ucapnya bangga. 

Hanya dengan Ilmu Bisa Benar
Ditambahkan Kang Said yang selalu mengajak mengenang dan mendoakan almaghfurlah Gus Dur ini, rasa syukur sebagai kaum beriman harus dilakukan dengan cara belajar. Mencari ilmu kepada para guru, para ulama.  Sebab mengutip sebuah Hadis Rasulullah, setiap muslim wajib menuntut berilmu dari sejak lahir hingga ke liang lahad. 

“Kita semua ini sudah diberi nikmat agung berupa Islam. Maka mari belajar, mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar menjadi muslim yang benar dan membawa manfaat. Sebab hanya dengan ilmu kita bisa benar. Tanpa ilmu kita bisa tersesat bahkan menyesatkan umat,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin. 

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berpesan, masyarakat jangan sampai jadi korban pembodohan oleh segolongan orang yang gembar-gembor mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang asli. 

Kaum puritan radikal yang senang menghujat amalan umat Islam itu, kata dia, tak mengerti bahwa Al-Qur'an yang murni dan asli tidak bakal bisa dibaca umat sekarang. 

Secara runtut dia uraikan, Al-Qur'an di zaman Rasulullah tidak ada tanda bacanya apapun. Bahkan tanda titik pun tak ada. Sepeninggal Rasul dan par sahabat utama, umat Islam yang sudah banyak dan tersebar di berbagai negeri tidak bisa membaca Al-Qur'an. Padahal hukum membaca Al-Qur'an adalah wajib. 

“Mengetahui  hal itu, seorang ulama bernama Syaikh Abul Aswad Ad-Duali pada tahun 62 Hijriyah membuat tanda titik. Sehinga kita kenal huruf hijaiyah sekarang ini,” kisah Kang Said. 

Dia lanjutkan, hanya tanda titik saja ternyat masih menyulitkan kaum muslimin yang dari waktu-ke waktu semakin banyak dan tersebar. Maka Syaikh Kholil bin Ahmad Al-Faroghi yang wafat pada tahun 180 Hijriyah membuat tanda syakal atau kita sebut harokat. 

“Lagi-lagi, ulama yang mencarikan solusi bagi kesulitan umat Islam. Dengan adanya harokat, kaum muslimin bisa membaca Al-Qur'an tanpa kesulitan,” lanjut alumnus Universitas Ummul Quro Arab Saudi ini. 

Apakah masalah selesai dengan sudah adanya harokat? Ternyata belum. Tambah Kiai Said, umat Islam di berbagai behalan bumi banyak yang tidak tahu cara membaca Al-Qur'an yang benar. Melafalkan huruf “ain” misalnya, beberapa suku bangsa semisal Jawa, malah berbungi jadi “ng”. Misalnya “robbil ‘alamin” jadi “robbil ngalamin”. Susah juga mengucapkan beda huruf antara “ahmad” dan “khoroja”. 

“Akhirnya, tokoh ulama bernama Abu Ubaid Qosim bin Salam ar-Romahurmuzi yang wafat tahun 224 Hijriyah membuat kitab pedoman membaca Al-Qur'an yang kemudian disebut sebagai ilmu tajwid,” ucap Kiai Said mengisahkan sejarah Al-Qur'an. 

Kesimpulannya, orang tidak akan bisa membaca Al-Qur'an tanpa melalui ulama. Tanpa ada ulama yang membuat inovasi-inovasi tersebut, tegasnya, seluruh umat Islam akan terancam  berdosa karena tidak bisa membaca kitab suci pedoman agamanya. 

Lantas, kalau atau orang yang begitu congkak menolak ulama dan mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan hadis serta hanya manut pada Rasulullah dan para sahabatnya menurut penafsiran mereka, sungguh sangat bodoh dan tolol. 

“Jadi betapa bodohnya orang yang mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis tanpa melalui ulama,” tandas Kiai Said disambut applaus hadirin. 

Ulama Pewaris Nabi
Lebih lanjut Kiai Said menjelaskan, orang yang menganut pada ulama itu bukan berarti tidak manut pada Nabi. Justru manut ulama karena hanya ulama lah yang menjadi pewaris Nabi. Ilmu ulama melalui jalur (sanad) yang jelas dan tersambung tanpa putus sampai Rasulullah. 

Kala Umat Islam pada tahun 90-an Hijriyah dilanda kekacauan akibat banyaknya orang yang membuat hadis palsu, ulama turun memberi solusi. Imam Muhammad bin Muhammad bin Idris Asy-Syafii atas permintaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang gerah dengan pemalsuan hadis, membuat kitab pedoman baku untuk mengetahui kualitas hadis maupun penafsiran Al-Qur'an. Agar umat Islam tidak tertipu dan tersesat oleh pemalsu hadis dan penafsir asal-asalan. 

“Kitab yang dibuat Imam Syafii bernama Ar-Risalah itu kemudian menjadi ilmu ushul fiqih. Dengan ilmu ini kaum muslimin seluruh dunia bisa menyaring dan menganalisa sebuah ayat dan hadis sehingga tidak tersesatkan,” beber dia. 

Berikutnya, papar pengagum KH Abdurrahman Wahid ini, Washil bin Atho’, ulama Baghdad zaman Daulah Abbasiyah menyusun kitab tauhid karena umat Islam kesulitan menjalankan ibadah sepenuh iman. 

Peletak dasar Ilmu Kalam itu mengajari masyarakat untuk mengenal Allah melaui sifat-sifat-Nya, nama-nama agung-Nya. Hal itu disarikan dari Al-Qur'an maupun hadis. 

“Sekali lagi, andai tidak ada ulama, kita pastilah tidak akan bisa beriman dan mengenal Allah. Sebab tidak tahu cara dan tidak punya pedomannya,” tandas Said. 

Acara pengajian pagi hari itu dihadiri seribuan kaum muslimin-muslimat, sejumlah ulama dan tokoh masyarakt setempat, serta beberapa anggota DPRD Jateng dari berbagai partai politik. Pengasuh Ponpes Al-Ittihad yang juga mantan anggota DPR RI, KH Arifin Junaidi duduk di depan bersama para alumni pondoknya. 



Kontributor: Muhammad Ichwan DS


Terkait