Nasional

Jalan Khidmah Pak Imam Mudzakkir di NU

Selasa, 16 Mei 2017 | 11:01 WIB

Oleh Sulton Fatoni

Sebulan sebelum Muktamar NU di Jombang, saya menghadap Ketua Umum PBNU, "Kiai, format Surat Tugas seperti ini?" tanyaku kepada Kiai Said Aqil sambil menyodorkan selembar kertas. Kiai Said Aqil membacanya di ruang tengah kediaman beliau di Ciganjur Jakarta Selatan. 

Tak lama beliau pun berujar, "ya, tapi diberikan nanti saja setelah Muktamar NU Jombang." 

Saya pun menyimpannya untuk sementara waktu. Surat Tugas itu berisi pemberian otoritas Ketua Umum PBNU kepada seorang Imam Mudzakkir untuk membangun Gedung Universitas Nahdlatul Ulama Tahap II di Jalan Taman Amir Hamzah Matraman. Ya, isinya hanya tercantum satu nama saja: Imam Mudzakkir.

Sepuluh hari sepulang dari Muktamar NU di Jombang, Kiai Said Aqil menandatangani Surat Kuasa berkop PBNU itu. Kemudian beliau minta agar saya menyerahkannya kepada Bapak Imam Mudzakkir. Tak menunggu berhari-hari, surat pun saya serahkan kepada Pak Imam Mudzakkir. Surat Kuasa ini mandat kedua yang diterima Pak Imam Mudzakkir, dimana sebelumnya Kiai Said Aqil juga memberi Kuasa kepadanya untuk membangun masjid PBNU.

Suatu hari, Pak Imam memanggil saya, "Sulton, untuk proses pembangunan Gedung UNU, saya enggak bisa pake model kayak bangun mesjid PBNU ini; dapat duit duaratus juta, jalan...lima puluh juta, jalan. Kalo UNU, saya nunggu duit ngumpul dulu, baru jalan. Ngerti, kamu?" jelasnya dengan nada khas orang tua. Saya mengangguk-angguk gaya orang mengerti.

Hari berganti, pekan demi pekan berjalan, belum ada tanda-tanda mulai pembangunan. Saat bertemu di PBNU, saya bertanya, "Pak Imam, kapan mulai?" 

"Ya digambar dulu, izin dulu ke Pemprov DKI. Enak saja kamu," jawab beliau. Saya pun mengangguk lagi. waktu pun terus berjalan. Sunyi. Tak ada geliat pembangunan. Saat bertemu beliau, saya selalu diberi nasihat tentang sebuah proses yang harus dilalui meski berliku.

"Ayo ikut saya," kata Pak Imam suatu malam. Kami berangkat dari PBNU ke arah Tebet. Sesampai di bilangan Tebet melewati deretan toko loakan mebel, Pak Imam putar balik dan minta supirnya menghentikan mobil di pinggir jalan, "Itu warungnya, Kikil langganan Gus Dur," kata beliau. Sambil makan, beliau bercerita tentang banyak hal. Kabar baik pun tiba, "Sulton, saya sudah dapat duit, bangun gedung UNU bisa dimulai." Alhamdulillah. Saya bahagia.

Awalnya mau selametan, tumpengan kecil-kecilan. Rupanya Kiai Said Aqil berencana lain. Pak Imam Mudzakkir pun bersama civitas akademika UNU-STAINU Jakarta menyiapkan acara yang cukup meriah. Bentuk syukur dan apresiasi terhadap Pak Imam Mudzakkir. Saat acara, Pak Imam tidak maumemberikan sambutan laporan. Beliau lebih anteng memilih sebagai pendengar.

Pembangunan UNU Jakarta pun berjalan. Saya tentu tidak tahu tingkat kesulitannya. Hanya Pak Imam Mudzakkir yang tahu.

"Gaji tukang sudah ada yang nanggung, sebagian. Gapapa, lumayan," kata Pak Imam suatu hari. Di pagi hari yang lain, Pak Imam Mudzakkir bercerita optimis, "Kamu tahu enggak, meski rekeningku kosong, tukang bangunan harus gajian, besi belum dibayar, saya santai saja. Saatnya pasti ada orang yang dateng bantu." Saya pun ikut senang mendengarnya.

Pak Imam Mudzakkir bukan tipe pemalas. Kumpul kumpul ber-NU sering beliau ikuti meski sudah sepuh. Saya terakhir kali bertemu saat acara NU bersama Pak Presiden Jokowi di Pondok Pesantren al-Tsaqafah Ciganjur. Setelah itu saya mendengar dari Security PBNU di Pos Jaga--tempat start beliau beraktivitas tiap hari--bahwa beliau dirawat di rumah sakit.

Bulan lalu selepas Isya', kami bertemu di kediaman Kiai Said Aqil di Ciganjur. Pak Imam Mudzakkir berbagi informasi setelah sekian pekan tidak ketemu.

"Kiai, gedung UNU sedikit lagi selesai. Agustus sudah bisa difungsikan. Bahkan isi gedungnya pun, meja-kursi, lemari dan lainnya, sudah ada donaturnya," kata Pak Imam Mudzakkir. Kiai Said tampak sumringah. 

"Lantai pake granit, Kiai." Lanjut Pak Imam.

"Jangan. Itu Kampus, pake keramik saja." Jawab Kiai Said Aqil. Saya gembira mendengarnya.

Kini Pak Imam Mudzakkir telah wafat. Semoga khidmahnya berbalas surga. Segalah dosanya, Allah ampuni. Beliau orang baik.


Penulis adalah Ketua PBNU


Terkait