Jombang, NU Online
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara kelembagaan oleh pemerintah pada beberapa waktu lalu mendapat banyak apresiasi dari berbagai pihak. Di antaranya organisasi kepemudaan benteng ulama, Gerakan Pemuda (GP) Ansor dari jajaran kepengurusan pusat hingga daerah.
Namun demikian, langkah pemerintah di atas menurut Ketua Pimpinan Cabang (PC) GP Ansor Kabupaten Jombang Jawa Timur H Zulfikar Damam Ikhwanto masih ada pekerjaan rumah (PR) lain yang juga harus menjadi perhatian, khususnya di kalangan pemerintah, yaitu pengaruh ajaran atau ideologi yang tentunya masih melekat di kepala para pengurus dan simpatisan HTI.
Pengaruh ideologi tersebut menurut pria yang kerap disapa Gus Antok ini harus dibersihkan, sebab akan tetap membahayakan pada perkembangannya. Dirinya tak menampik adanya sebagian jajaran pengurus HTI yang juga berada dalam birokrasi dan aparatur negara.
"Hal ini juga sangat mengkhawatirkan dan membahayakan, meski secara resmi pemerintah telah membubarkan HTI secara kelembagaan," ujarnya kepada NU Online, Selasa (9/5).
Merujuk pada rekomendasi konferensi besar (Konbes) XXI GP Ansor tahun 2017, Gus Antok mengungkapkan setidaknya masih ada dua langkah lagi yang mesti dilakukan pemerintah agar HTI dan organisasi serupa yang jelas mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI tidak berkembang lagi.
Dua langkah sesuai rekomendasi Konbes tersebut. Pertama, mendesak Pemerintah Republik Indonesia membersihkan oknum-oknum di dalam birokrasi dan aparatur negara termasuk PNS dan dosen dari anasir-anasir HTI dan kelompok radikal lainnya.
Kedua, mendesak Pemerintah Republik Indonesia membersihkan sekolah-sekolah dan kampus dari pengaruh guru-guru atau dosen yang mengajarkan paham HTI dan radikalisme agama yang akan mengancam eksisitensi Pancasila dan NKRI di masa mendatang.
"Setelah poin 1 dan 2 rekomendasi Konbes XXI GP Ansor berhasil, mari pastikan poin (langkah, red) 3 dan 4 dilaksanakan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Semoga Allah SWT meridhoi langkah perjuangan kita menjaga negara warisan para ulama ini," tambah salah seorang PNS di lingkungan Kota Santri ini.
Dikatakan dia, radikalisme atas nama apapun, sekiranya tidak konstitusional dan tidak menghargai demokrasi Pancasila, tentu menjadi kewajiban pemerintah beserta aparatnya mengambil tindakan, apalagi bila radikalisme ini dibalut atas nama agama.
"Sebagai bagian dari masyarakat, kita wajib mengingatkan pemerintah beserta aparatnya," pungkas Gus Antok. (Syamsul Arifin/Fathoni)