Jakarta, NU Online
Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi lebih suka model pemilihan langsung untuk menentukan rais aam dan ketua umum PBNU sebagaimana yang sudah berlaku selama ini dibandingkan dengan sistem ahlul ahli wal aqdi yang saat ini sedang diwacanakan.
<>
“Saya ngak setuju. Pertama, keadaan saat sekarang tidak sama dengan waktu ahlul halli dilakukan. Pada tahun 1984 ketika itu, ahlul halli adalah ulama-ulama muktabar yang mumpuni. Kalau sudah bersepakat, tidak ada friksi. Ada kiai Mahrus Ali, Kiai Ahmad Siddiq, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Mbah Mad, dan Kiai Abdullah Siddiq. Itu kalau sudah kumpul, sudah selesai,” katanya.
Menurut Kiai Hasyim yang juga menjadi kandidat rais aam pada muktamar NU di Makassar tahun 2010 lalu, saat ini tidak ada figur kolektif yang mewakili ketaatan orang NU. “Daripada begitu, lebih baik dikembalikan seperti biasa, sehingga tanggung jawab bersama,” tandasnya.
Alasan kedua, seorang rais aam dan ketua umum yang tidak dipilih, tapi ditunjuk tidak punya cukup kepemimpinan moral di bidang memimpin umat karena umatnya tidak merasa milih, “lho kok sampean jadi ketua saya, sehingga ketika harus memimpin umat, itu kredibilitasnya rendah,” imbuh Hasyim yang sampai saat ini masih sangat rajin menyambangi warga NU di seluruh pelosok negeri.
Faktor ketiga, ia mengkhawatirkan potensi keterlibatan keluarga kiai untuk diangkat menjadi pengurus sehingga kriteria kepemimpinan menjadi tidak jelas.
Ia beranggapan, justru dengan sistem ahlul halli, ada kemungkinan lebih mudah diintervensi oleh pihak luar.
“Justru ini lebih berpotensi karena yang diintervensi cukup ahlul hallinya saja. Kalau mengintervensi seluruh cabang, susah, kok aneh,” tandasnya.
Bukan berarti ia tidak setuju dengan sistem ahlul halli. Menurutnya, saat ini dipersiapkan dulu segala sesuatunya dan kemudian bisa dilaksanakan pada muktamar NU pada tahun 2020.
“Sebaiknya 2020 saja karena kita sedang menghadapi regenerasi total. NU-nya saya, NU-nya sampean, belum tentu sama dengan NU-nya anak sampean. Ini dulu yang jadi fokus, pelestarian NU sebagai organisasi perjuangan, organisasi agama yang spesifik dan tidak sama dengan pikiran transnasional. (mukafi niam)