Jakarta, NU Online
Guru Besar Universitas Nasional Australia (ANU), Greg Fealy menyebut tantangan Nahdlatul Ulama ke depan semakin berat. Kecepatan perubahan teknologi dan transisi sistem pendidikan menjadi dua hal yang merintanginya.
“Saya kira perubahan ini menjadi catatan bagi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia dan di dunia,” katanya saat menjadi narasumber pada peluncuran dan diskusi buku Nasionalisme Kaum Sarungan karya Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama H Helmy Faisal Zaini di Gedung PBNU lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Kamis (19/7).
Di samping itu, katanya, berkurangnya kepercayaan kaum muda terhadap organisasi masyarakat saat ini juga menjadi faktor lain yang tak dapat dinafikan. Pasalnya, menurut Greg, mereka lebih percaya terhadap individu orangnya.
“Mereka lebih percaya individu yang kharismatik, atraktif, dan sebagainya,” katanya dalam diskusi yang dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai kalangan itu.
Hal ini bukan hanya menjadi tantangan NU semata, tetapi juga menjadi bagian dari krisis dan tantangan seluruh organisasi masyarakat di dunia dalam menghadapi generasi milenial. Perubahan ini, katanya, diakibatkan oleh adanya perubahan pola konsumsi masyarakat saat ini.
Senada dengan Greg, Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Muhammad Bakir juga mengatakan hal yang sama, bahwa NU menghadapi tantangan berat ke depan. Jika Greg menyoroti soal teknologi dan keagamaan masyarakat, Bakir melihat dari sisi kebangsaannya.
Ia menceritakan bahwa Kompas pernah bekerja sama dengan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) guna meneliti ketahanan ideologi anak muda di tahun 2015. Hasilnya, kata Bakir, 70 persen provinsi Indonesia rentan dalam ideologi.
“Justru yang paling rentan dalam hal ideologi adalah di Jawa,” ujarnya pada diskusi yang dipandu oleh Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Masduki Baidlowi itu.
Ia pun membuat perlombaan menulis tentang misi anak milenial dan generasi Z dalam menatap satu abad Indonesia. pertanyaan mendasar bagi mereka adala, “Apakah Indonesia di usia 100 tahun itu masih ada atau nggak?”
Pengambilan remaja usia 15-20 tahun karena merekalah yang bakal menjadi elit negeri pada tahun 2045 nanti. Hasilnya, mereka tidak yakin keberadaan Indonesia sampai usia satu abad.
“Mereka itu gak yakin bahwa Indonesia itu masih eksis di usia keseratus. Itu tantangan bukan hanya bagi NU, tapi juga bagi negara ini,” lanjut wartawan senior itu. (Syakir NFKendi Setiawan)