Tangerang Selatan, NU Online
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil mengungkapkan, dalam konsep tasawuf maqam seseorang atau yang dapat diartikan sebagai kelas itu terbagi menjadi dua, yakni manusia yang memiliki kedudukan di tengah-tengah masyarakat (man of action) dan manusia yang kehidupannya menyendiri (man of contemplation).
“Saya mengomentarinya sebagai manusia kamar dan manusia sosial,” kata Gus Ulil saat menjadi narasumber dalam acara Ramadhan on Campus, Tadarus Al Hikam di Aula Lantai 1, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (15/5).
Manusia kamar, lanjutnya, adalah mereka yang kehidupannya terpisah dari masyarakat. Meskipun begitu, ia adalah seseorang yang berkedudukan sebagai konseptor, pemikir, dan bekerja secara menyendiri. Pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya berguna bagi banyak orang.
Sedangkan manusia sosial adalah mereka yang bertindak dan berinteraksi dengan masyarakat dan melakukan pekerjaannya di tengah-tengah masyarakat. Bagi Gus Ulil, kedua kelas tersebut sangat dibutuhkan untuk mengoperasikan suatu masyarakat.
“Manusia itu tidak bisa tegak jika hanya dalam satu kelas saja, meskipun secara rohani kelas yang pertama—yang bekerja dalam kesendirian, maqamnya jauh lebih tinggi dibandingkan kelas yang kedua,” papar penulis buku Menjadi Manusia Rohani ini.
Ia mengungkapkan, seseorang yang kelasnya sebagai manusia kamar tetapi berkeinginan untuk pindah menjadi manusia sosial, maka sesungguhnya ia telah turun dari pangkatnya. Begitupun sebaliknya, jika seseorang yang kelasnya sebagai manusia sosial kemudian berkeinginan untuk pindah menjadi manusia kamar untuk memperoleh label kesufian, maka sesungguhnya ia sedang melakukan kesufian untuk menutupi hawa nafsunya.
“Jadi, seseorang yang memiliki maqam tertentu tidak bisa nyebrang ke maqam lain,” tambahnya.
Mengutip keterangan dalam kitab Ihya Ulumuddin, Gus Ulil menerangkan bahwa ada tiga cara untuk mendeteksi masing-masing maqam dalam diri seseorang. Pertama, petunjuk seorang guru. Karena seseorang tidak mampu melihat dirinya dengan jernih, maka seorang guru sangat dibutuhkan untuk mengetahui di mana kelebihan muridnya kecenderungannya, serta bakat apa yang dimilikinya.
“Oleh karenanya dalam dunia sufi, mursyid itu dibutuhkan untuk mengetahui di mana posisi seseorang,” ungkapnya.
Kedua, petunjuk seorang teman. Teman dalam hal ini adalah mereka yang berkata jujur (sodiqun suduqun), bukan mereka yang selalu berkata baik terhadap seseorang karena merasa segan, atau teman yang suka berkata buruk karena menyimpan kebencian.
“Ketiga, adalah dirimu sendiri. Jika seseorang sudah tahu maqamnya berada di mana, apakah memiliki kecenderungan sebagai manusia kamar atau manusia sosial, maka seseorang harus konsisten dalam maqam tersebut,” tukasnya. (Nuri Farikhatin/Muchlishon)