Nasional

DPR dan Celios Desak BPS Ungkap Anomali Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Selasa, 12 Agustus 2025 | 14:00 WIB

DPR dan Celios Desak BPS Ungkap Anomali Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Ilustrasi krisis ekonomi. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online 

Dorongan transparansi metodologi perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) kian menguat setelah The Center of Economic and Law Studies (Celios) resmi meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaudit data pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Celios menilai terdapat ketidaksesuaian antara data resmi BPS dan indikator ekonomi di lapangan.


BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen (yoy) pada triwulan II dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan mencapai 5,68 persen. Namun, Celios mencatat sejumlah indikator menunjukkan perlambatan mulai dari kontraksi Manufacturing PMI, penurunan porsi industri manufaktur terhadap PDB, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya.


"Kami memanggil transparansi. Ada ketidakcocokan antara angka BPS dengan apa yang terjadi di lapangan," kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira dikutip NU Online pada Selasa (12/8/2025).


Celios juga mempertanyakan anomali pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya meski tidak ada pendorong konsumsi besar seperti Ramadan dan Idul Fitri. Mereka meminta dilakukan peer review oleh pakar independen, audit teknis, serta penguatan standar transparansi agar data ekonomi bebas intervensi politik.


Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menilai capaian pertumbuhan ekonomi patut diapresiasi, apalagi lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2025 yang sebesar 4,87 persen. Namun, ia mengakui adanya jurang antara angka pertumbuhan dengan indikator sektoral seperti pertumbuhan kredit, penerimaan pajak, dan tren PHK.


"Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam proses penyajian data, seringkali ada multi interpretasi jika dibandingkan dengan kondisi riil di lapangan. Jika BPS bisa meyakinkan publik melalui penjelasan yang transparan, akuntabel, dan dengan metode yang diakui, maka keraguan seperti saat ini bisa dihindari," ujarnya melalui keterangan yang diterima NU Online.


Menurut Anis, transparansi BPS tidak cukup hanya dengan rilis angka dan narasi singkat, tetapi harus membuka metadata dan metodologi perhitungan PDB secara utuh.


"Publik berhak tahu dari mana sumber data diambil, bagaimana pembobotan setiap sektor dilakukan, metode estimasi yang digunakan, dan sejauh mana proses ini bisa diverifikasi oleh pihak independen," tegas dia.


Ia menilai keterbukaan ini justru akan menguatkan posisi BPS sebagai lembaga negara yang akuntabel. 


"Langkah ini bukan untuk meragukan BPS. Sebaliknya, keterbukaan akan menjadikan BPS lebih dihormati karena datanya teruji, dapat diuji ulang, dan tidak meninggalkan ruang spekulasi," tambahnya.


Anis juga mengingatkan bahwa data PDB bukan sekadar statistik tetapi menjadi rujukan utama dalam perumusan kebijakan, penentuan arah investasi, hingga dasar pemberian stimulus ekonomi. 


"Jika datanya meleset atau tidak menggambarkan situasi riil, kebijakan yang diambil bisa tidak tepat sasaran. Ini yang harus kita cegah," ujarnya.


Anis menyampaikan keyakinan bahwa BPS memiliki kapasitas dan integritas yang sudah teruji. Namun, ia menekankan bahwa keterbukaan dari hulu ke hilir adalah kunci untuk menghilangkan keraguan publik dan menjaga kredibilitas data ekonomi nasional.