Nasional

Dianggap Campuri Wewenang Legislasi, Hakim Mahkamah Konstitusi Buka Suara

Jumat, 22 Agustus 2025 | 16:00 WIB

Dianggap Campuri Wewenang Legislasi, Hakim Mahkamah Konstitusi Buka Suara

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Dalam Seminar Konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) disorot karena dianggap melangkahi batas wewenangnya sebagai lembaga yudikatif dan justru ikut bermain di wilayah legislasi yang mestinya menjadi urusan cabang kekuasaan lain.


“Ini banyak anggapan bahwa sekarang itu MK sudah mulai merangsek ke rumpun kekuasaan yang lain. Banyak yang mengatakan bahwa secara aturan di MK, padahal itu fungsi legislasi itu harusnya jadi tugas berbagai macam rumpun kekuasaan lain," tanya moderator dalam Seminar Konstitusi pada Kamis (21/8/2025).


Hakim Konstitusi Saldi Isra menekankan bahwa Mahkamah Agung (MA) menangani kasus hukum yang bersifat privat atau konvensional, seperti sengketa antarwarga atau warga dengan negara, sedangkan MK bertugas menangani isu-isu besar dalam politik hukum negara.


Menurut Saldi, desain ini membuat kewenangan MK bersinggungan langsung dengan otoritas-otoritas politik utama dalam sistem kenegaraan. Karena itulah, dalam berbagai literatur hukum dan politik, MK disebut sebagai political court (lembaga peradilan yang menangani kasus-kasus politik).


“Dia menjadi salah satu cabang kekuasaan kehakiman tapi kewenangannya itu kewenangan yang bersentuhan dengan cabang-cabang utama dalam politik ketatanegaraan,” ujarnya.


Ia tidak menampik bahwa MK memang berbeda dari lembaga yudikatif konvensional seperti MA. Ia menjelaskan bahwa sejak awal, MK didesain secara terpisah karena memiliki peran yang bersentuhan langsung dengan persoalan ketatanegaraan, bukan sekadar persoalan hukum antar-individu.


“Kalau kita komparasi misalnya dengan MA sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, memang sengaja mendesain lembaga baru pemegang kekuasaan kehakiman yang namanya Mahkamah Konstitusi, itu dipisah dari MA,” jelas Saldi.


Salah satu fungsi sentral MK yang ia soroti adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi. Saldi mengakui bahwa di banyak negara, termasuk Indonesia, MK tak lagi hanya menyatakan suatu pasal bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. 


Menurutnya, jika MK terlalu kaku dalam menyatakan suatu norma inkonstitusional secara mutlak, maka praktik kenegaraan bisa terhenti seketika.


“Dalam perkembangan di mana pun di dunia tidak ada lagi MK yang mengatakan yes or not... karena sewaktu-waktu bersikukuh dengan posisi ini batal atau bertentangan dengan konstitusi secara ketat itu banyak praktek ketatanegaraan yang bisa me-rem (berhenti) mendadak,” kata Saldi.


Atas dasar itu, katanya, MK kini lebih banyak menggunakan tafsir bersyarat seperti konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat ketimbang membatalkan total. Pendekatan ini, menurutnya, bukan buatan MK sendiri, melainkan bentuk adaptasi terhadap dinamika ketatanegaraan global.


“Jadi ini perlu dijelaskan, bukan buatan MK, tapi ini cara MK beradaptasi dengan perkembangan ketatanegaraan,” tegasnya.


Ia juga menambahkan bahwa keputusan yang sepenuhnya membatalkan norma hukum sangat jarang dilakukan, karena dikhawatirkan menimbulkan kekosongan hukum yang bisa mengganggu jalannya negara.


“Begitu dia dinyatakan inkonstitusional dan berhenti mendadak, maka akan ada celah kekosongan hukum,” pungkasnya.