Jombang, NU Online
Di sela persiapan Muktamar ke-33 NU, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid masih menyempatkan agenda di luar muktamar. Gus Sholah mengatakan pihaknya baru saja meneken kontrak kerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kerjasama yang dijalin dengan Tebuireng dan sekitarnya untuk menerapkan aneka penemuan baru dari LIPI.<>
“Bentuk kerjasamanya antara lain mengolah kunyit dengan teknologi yang tadinya harga 30 ribu per kilo bisa jadi 800 ribu. Naik 20 kali lipat. Nah, hari ini tadi MoU-nya,” ujar Gus Sholah kepada NU Online usai penandatanganan nota kesepahaman di gedung KH M Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng Jombang, Jumat (31/7).
Menurut Kepala Pusat Inovasi LIPI Nurul Taufiqu Rochman PhD, banyak potensi yang ada di Tebuireng. Kawasan ini termasuk pasar yang menjanjikan. Selain SDM, termasuk juga hasil alam. “Di sini saya lihat banyak tebu. Tapi belum diberi sentuhan teknologi. Tebu kan kalau diperas harganya berapa sih. Sangat kecil. Kalau kayak gitu nggak balik modal,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, produksi tebu semakin lama kian turun. Harganya pun semakin susah. “Memang tebu masih menguntungkan sekarang. Tapi lima tahun ke depan nggak ada jaminan. Itu harus dikasih sentuhan teknologi. Nggak bisa hanya seperti itu aja,” ujar Taufiq.
Bagi dia, kandungan zat gula pada tebu jika dipakai untuk perawatan kulit bagus sekali. “Bisa untuk menghaluskan kulit juga. Jadi bahan kosmetik. Tebu nanti diekstrak. Lalu, ekstraknya dicampurkan ke bahan kosmetik lainnya. Itu yang nanti kami ajarkan, sehingga ada nilai tambah,” paparnya.
Ia mencontohkan lagi, air perasan tebu bisa dijadikan sari tebu dengan kemasan unik. “Mungkin ya kayak soft drink yang bagus itu lho. Kalau sudah jadi gula kan berbahaya sebenarnya. Kalau sari tebunya bagus,” ungkapnya.
Menurut dia, jika menilik penjualan sari tebu yang di pinggir jalan, selain murah sekali, panas saat penjualannya, dan tidak higienis. Ia berharap pengolahan tebu berbasis teknologi nanti menjadikan nilai tambah.
“Target marketnya, tidak hanya para santri Tebuireng, namun juga masyarakat luas yang berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Bisa untuk oleh-oleh. Dari sini perekonomian warga makin berkembang,” ujarnya.
Menurut dia, tebu juga bisa diolah sebagai bahan campuran sabun dan shampoo. Nantinya santri bisa menikmati kebutuhan harian ini dengan harga murah. “Kalau shampoo per sachet 500, kali 80 juta santri se-Indonesia, 40 miliar sehari. Jika teman-teman santri bisa memproduksinya untuk kalangan mereka sendiri kan jatuhnya lebih murah. Keuntungannya juga masuk ke pesantren,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)