Jakarta, NU Online
Jum’at (7/3) lalu, kelompok seniman yang menamakan diri “Jamaah NU Miring” meluncurkan buku bertajuk “Jimat NU” di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Peluncuran buku dihadiri oleh orang, termasuk para narasumber Lukman Hakim Saifuddin, Yudi Latif, Abdul Muiz. Sastrawan senior Ahmad Tohari juga hadir dan memberikan komentarnya.<>
Menurut perwakilan Jamaah NU Miring, Sahlul Fuad, “Jimat NU” merupakan buku ketiga dari Jamaah NU Miring. Sebelumnya, Jamaah NU Miring telah merilis buku berjudul “Dari Kiai Kampung ke NU Miring” dan “NUhammadiyah Bicara Nasionalisme”.
Buku Jimat NU itu berisi kumpulan tulisan 15 anak muda NU. Mereka adalah Binhad Nurrohmat, M. Faizi, Mashuri, Soffa Ihsan, Sahlul Fuad, Riadi Ngasiran, Ade Faizal Alami, Abdullah Wong, Hodri Ariev, Saprillah, Anggi Ahmad Haryono, M. Faishal Aminuddin, Malkan Junaidi, Matdon, Nurman Hakim, dan Khudori Husnan.
“Jimat NU” itu cukup “meriah” yang berisi cerita tentang berbagai aktifitas sehari-hari warga NU, seperti ziarah kuburan, jimat, khizib, dan ilmu laduni, lalu tentang pertanian, pembuatan film, sampai internetan.
Kata Lukman Hakim Saifuddin, “Jimat NU” itu merupakan salah satu cara menjelaskan NU kepada publik. Selama ini, NU lebih sering dijelaskan dalam perspektif fikih, hukum agama. Banyak orang tidak paham dengan model penjelasan formal itu.
“Buku ini tidak menggunakan dalil fiqhiyah untuk menjustifikasi perilaku orang NU sehari-hari. Tentu buku ini sangat membantu banyak orang yang tidak memahami fikih,” kata Lukman Hakim, wakil ketua MPR itu.
Yudi Latif mengatakan, buku “NU Miring” berkisah tentang misteri, yakni sesuatu yang menyebabkan orang beragama tidak frustrasi dengan melakukan bom bunuh diri, dan terpenting membuat orang masih bisa berpuisi.
“Buku ini seperti mencoba menertawakan diri sendiri tapi pada saat yang sama menonjok orang lain. Buku ini merupakan kejenakaan yang serius; sebuah pemberontakan narasi yang terpinggirkan oleh modernisasi, kata Yudi Latif. Ia memukau ketika bercerita banyak hal tentang postmodernisme.
Peluncuran buku itu diakhiri dengan “praktik perdukunan” oleh Abdul Muiz berupa terapi pengobatan dengan memanfaatkan arus listrik. (A. Khoirul Anam)
Gambar: Peluncuran buku diawali dengan doa yang dipimpin oleh Abdullah Wong beserta rombongannya lengkap dengan alat musik gitar, seruling dan karinding Sunda.