Jakarta, NU Online
Pembayaran zakat bisa dilakukan secara langsung dari muzakki kepada mustahik, akan tetapi lebih afdhol atau memiliki nilai tambah jika dibayarkan melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ).<>
Dengan membayar zakat melalui lembaga, maka pengelolaan uang akan lebih baik, dari aspek pengumpulan sampai dengan pendistribusiannya.
“Pengelolaan zakat melalui lembaga mempertimbangkan aspek akuntabilitas, transparansi dan profesionalitas serta bisa dilihat sejauh mana pertanggung jawabannya,” kata Ketua Lazis NU KH Masyhuri Malik dalam acara sosialisasi zakat untuk profesional yang diselenggarakan oleh Kemenag RI di Jakarta, Rabu (19/9).
Berdasarkan pengalamannya, pengelolaan zakat secara tradisional kurang memberi manfaat jangka panjang untuk mengentaskan mustahik menjadi muzakki. Pola yang umum adalah pembentukan panitia zakat ad hoc saat bulan Ramadhan yang mengumpulkan zakat fitrah maupun zakat mal. Zakat tersebut langsung dibagi habis dan setelah Idul Fitri, panitia dibubarkan. Pola yang sama berulang dari tahun ke tahun.
Dana yang diterima masyarakat akhirnya digunakan untuk kepentingan yang sifatnya konsumtif selama lebaran sehingga habis dalam waktu sekejap dan tidak bisa memberdayakan.
Dengan adanya lembaga, maka dimungkinkan adanya perencanaan dan pendistribusian zakat secara lebih beragam, ada yang dibagikan langsung untuk kepentingan mendesak, tetapi ada juga yang berorientasi jangka panjang seperti beasiswa atau modal kerja.
“Dari sini bisa diukur kinerja dan pertanggungjawabannya karena lembaga dikelola secara berkelanjutan,” paparnya.
Saat ini, lembaga zakat yang ada telah diatur oleh UU sehingga harus melaporkan pertanggung jawabannya kepada pemerintah dan publik. Dengan demikian, diharapkan masyarakat percaya dana yang dikelola secara amanah. UU ini mensyaratkan beberapa hal untuk mendirikan lembaga zakat untuk menghindari potensi penyalahgunaan.
Lazis NU sejauh ini telah diaudit oleh akuntan publik dan melaporkan secara rutin dana kelolaannya kepada PBNU, publik dan pemerintah.
Agar lebih terkoordinasi dengan baik, ia menyarankan pesantren atau masjid yang juga mengelola zakat agar bersinergi menjadi Unit Pengelola Zakat (UPZ) agar terjadi sinergi manajemen. “Kami hanya meminta laporannya saja, tetapi pentasyarrufannya bisa langsung untuk masyarakat sekitar,” tandasnya.
Masyarakat masih suka membayar sendiri zakatnya karena belum tahu ada lembaga zakat yang bisa mengelola uangnya atau dikarenakan belum adanya kepercayaan. Dulu sejak zaman nabi, juga telah dibentuk panitia zakat, tidak dibayarkan sendiri,” tandasnya.
Potensi zakat, infak dan sedekah di Indonesia sangatlah tinggi, tetapi baru sebagian kecil yang dikelola oleh lembaga zakat. Ia mencontohkan komunitas NU yang membangun madrasah, masjid atau pesantren atau sekolah secara swadaya yang jika dihitung per tahun nilainya bisa mencapai trilyunan.
Dikampungnya sendiri, di Batang Jawa Tengah, masyarakat desa yang terdiri dari 300 KK membangun masjid senilai lebih dari 1 milyar secara mandiri. Mereka yang merupakan para petani kecil rela menyumbang antara 1 juta sampai 10 juta per KK dengan mencicil selama tiga tahun sehingga tidak terasa berat. “Proses pembangunan masjid sudah mencapai 70 persen, mungkin mundur sampai 4 tahun, tetapi tetap sebuah prestasi,” paparnya.
Di lingkungan perkotaan, seharusnya potensi yang ada jauh lebih besar karena peredaran uang ada di kawasan perkotaan, tetapi jika dibandingkan, kesadaran beramal sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat pedesaan yang jauh lebih miskin.
Dari pengalamannya, sejauh ini, potensi infak jauh lebih besar dibandingkan dengan zakat, karena zakat hanya dibayarkan sekali dalam setahun sementara infak dibayarkan tiap hari. “Di tempat kami, Lazis NU mengelola dana infak lebih besar dibandingkan dengan zakatnya. Kami memisahkan pengelolaan keduanya sesuai dengan hukum fikih karena zakat hanya boleh dibayarkan untuk kelompok tertentu yang meliputi 8 golongan,” paparnya.
Ia berharap dari lembaga-lembaga zakat yang ada bisa melakukan sinergi agar distribusi dan pengelolaannya semakin efektif dan efisien. Dengan sinergi, mengurangi potensi terjadi penumpukan penerima zakat dan infak di wilayah tertentu atau tak tersentuhnya mustahik di wilayah lainnya karena tidak ada yang memperhatikan.
Penulis: Mukafi Niam