Nasional

Air Gus Dur

Rabu, 18 Desember 2013 | 08:00 WIB

PENGANTAR REDAKSI: Dalam rangka peringatan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU Online akan memuat tulisan-tulisan anak muda tentang dia. Tulisan seputar apa dan bagaimana pertama kali berkenalan dengan Gus Dur. Jika ingin berpertisipasi, kirim tulisan ke redaksi@nu.or.id.
<>
SEBAGAI anak kelahiran Orde Baru, saya sama sekali tak kenal Ad-Dakhil, si pendobrak yang Gus Dur itu. Tokoh yang selalu saya ingat adalah Sukarno, Suharto, berikut Habibi. Nama Harmoko, JB. Sumarlin juga masuk dalam daftar ingatan saya.

Bahkan sejak SD hingga madrasah Aliyah yang “mesti” saya hafalkan adalah nama-nama menteri Kabinet Pembangunan, Pancasila berikut butir-butir P-4, hingga Pembukaan UUD 1945. Semua hafal di luar kepala.

Tapi beruntung, sejak SD saya mengenyam madrasah diniyyah berikut ngaji pada beberapa kiai di kampung. Maka khazanah semacam i’lal, tasrifan, Kailani, Jurumiyyah, Safinah, hingga Barzanji gondrong pun ikut mengisi memori otak saya. Selebihnya adalah kegiatan Pramuka atau upacara bendera.

Selesai Madrasah Aliyah di Tegal, saya melanjutkan mondok di Cirebon. Di pesantren itu, saya menempati kamar 19 kompleks Akhfasy di lantai dua.

Saya tidak ingat persis kapan kejadian ini. Mungkin sekitar akhir tahun 1995. Saat itu Gus Dur menjadi tamu di pesantren. Ketika itu semua santri mendengar akan kehadiran Gus Dur, tak terkecuali saya. “Gus Dur itu cucunya Mbah Hasyim…” desas-desus mereka. Saya menyikapi dengan biasa. Bahkan nyaris dingin. Mungkin karena kesombonganku.

“Ah, mereka tidak tahu kalau saya ini keturunan Nabi Adam.” Karena posisi kamarku yang ada di lantai dua, saya dapat dengan leluasa menyaksikan kedatangan Gus Dur. Seingatku, ia duduk di kursi roda dan didorong oleh pembantunya. Ketika kali pertama melihat Gus Dur aku hanya membatin, “Oh, itu yang namanya Gus Dur.” Itu saja.

Ternyata kunjungan Gus Dur tak hanya berhenti di situ. Tahun-tahun berikutnya Gus Dur kembali datang mengunjungi pesantren kami. Tentu saja saya sudah mulai sedikit memahami siapa Gus Dur. Saya sudah membaca makalahnya yang dimuat dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, terbitan Paramadina. Di halaman 97 buku itu, Gus Dur menulis Konsep-konsep Keadilan.

Saat itu juga saya sudah menjadi pengurus pondok. Maka ketika ada tamu, secara otomatis saya sok sibuk menyambut para tamu. Begitu pula ketika Gus Dur rawuh. Kala itu Gus Dur hadir bersama Syarif Usman (Abah Usman) dan ditemani Kang Said. Mereka berkelakar dan ngobrol ngalor ngidul. Saya hanya memantau dari jauh barangkali ada keperluan mendadak dari mereka. Karena secara mendadak mereka minta dibelikan rokok, sate, durian, atau pesawat tempur. Maka, saya harus menjadi last man standing. Sementara, khodim ndalem kiai pondok telah menyajikan minuman untuk para tamu istimewa itu.

Nah, ketika mereka pamit dan berjalan beriringan menuju mobil, semua kiai berikut para santri mengikuti Gus Dur dari belakang, kecuali saya. Saya sama sekali tidak melepas kepergian Gus Dur. Karena sejak awal saya punya misi lain. Sejurus kemudian, ketika waktu dan situasi dirasa tepat, saya segera menuju ruang tamu yang tak bermeja itu. Dengan sigap saya segera melahap habis semua air yang ada di sana. Saya tidak tahu gelas mana yang diminum Gus Dur. Untuk itu saya minum semua air yang ada di beberapa gelas. Misi berhasil.

Hanya jeda sekian detik, seorang santri senior datang. Agaknya ia punya misi yang sama denganku. Buktinya ia langsung memburu, “Lho, air minumnya kok habis semua?! Yang punya Gus Dur mana?” Dengan enteng saya jawab, “Saya minum.” “Waduh, kalau punya Kang Said?” “Saya minum juga.” “Wah, kamu ini. Kalau punya Abah Ayip?” “Ya, saya minum juga.” Dengan kesal dan wajah bersungut ia ngeluyur sambil berkoar, “Kamu keterlaluan. Masa semua diminum?! Mereka itu punya keahlian di bidang masing-masing. Kalau kamu minum semua, kamu ini mau jadi apa?!”

Demikian. Pertemuan perdanaku dengan Gus Dur adalah pertemuan air. Bukan pertemuan fisik apalagi pemikiran. Mungkin seperti Werkudara yang menemukan Banyu Purwitasari.

Ketika di Jakarta, di beberapa seminar dan kegiatan teater, saya hanya menyalaminya. Selebihnya, hanya membaca Yasin dan shalat jenazah di rumahnya ketika Gus Dur sedang tidur panjang sebelum diberangkatkan ke Jombang.

Ternyata kedekatan dengan Gus Dur tak bisa dipatok dari kedekatan fisik semata. Karena jika demikian, kita semua adalah umat yang sangat jauh dengan Kanjeng Nabi, lantaran tak pernah bersinggungan secara fisik. Untuk apa semasa bahkan sepiring dengan Gus Dur jika hanya menjadi Abu Jahal atau Abu Lahab?! Masih mending para tabiin atau pengikut tabiin yang melestarikan laku lampahnya.

Maka, sampai detik ini, saya tidak pernah risau akan kehadiran Gus Dur. Karena kapan pun saya mau, saya dapat menemuinya. Jika tak percaya, tunggu novel manaqib yang sebentar lagi akan terbit. Judulnya, Mata Sang Penakluk. Novel itu disusun atas bisikan langsung dari Gus Dur ketika saya puasa di bulan Muharram. Kalau masih tidak percaya, saya yakin pasti Anda bukan orang NU.

Ciracas, 18 Desember 2013

ABDULLAH WONG (@abdullawong), pernah nyantri di Pesantren Kempek, Cirebon.


Terkait