Jakarta, NU Online
Sebanyak 21 (56 persen) dari dari 37 masjid BUMN terindikasi radikal. Sementara dari 28 masjid lembaga, delapan masjid (30 persen) terindikasi radikal. Adapun masjid-masjid kementerian, dari 35 masjid, 12 masjid (34 persen) terindikasi radikal.
Demikian pemaparan Agus Muhammad pada konferensi pers hasil penelitian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta dan Rumah Kebangsaan di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Ahad (8/7) siang.
Penelitian dilakukan terhadap khutbah yang disampaikan khatib pada setiap pelaksanaan shalat Jumat. selama empat minggu, dari tanggal 29 September hingga 21 Oktober 2017. “Terdapat 100 masjid yang terdiri dari 35 masjid kementerian, 28 masjid lembaga, dan 37 masjid BUMN yang diteliti,” kata Agus.
(Baca: PBNU Sayangkan Khutbah Radikal di Masjid Pemerintah)
Setiap masjid didatangi oleh satu orang relawan untuk merekam khutbah dan mengambil gambar brosur, buletin dan bahan bacaan lain yang terdapat di masjid. Bahan-bahan tersebut dijadikan acuan untuk menilai apakah masjid tersebut terindikasi radikal atau tidak.
Radikalisme yang dimaksudkan adalah pandangan, sikap dan perilaku yang cenderung menganggap kelompoknya yang paling benar dan kelompok lain salah; mudah mengkafirkan kelompok lain; tidak bisa menerima perbedaan, baik perbedaan yang berbasis etnis, agama maupun budaya.
Selain itu radikal juga cenderung memaksakan keyakinannya pada orang lain; menganggap demokrasi termasuk demokrasi Pancasila sebagai produk kafir; dan membolehkan cara-cara kekerasan atas nama agama.
(Baca: 41 Masjid Pemerintah Terindikasi Sebarkan Paham Radikal)
Agus merinci indikasi radikal dari tersebut dibagi dalam tiga kategori, yakni rendah, sedang dan tinggi. Rendah artinya secara umum cukup moderat tetapi berpotensi radikal. “Misalnya, dalam konteks intoleransi, khatib tidak setuju tindakan intoleran, tetapi memaklumi jika terjadi intoleransi,” ujarnya.
Kategori sedang artinya tingkat radikalismenya cenderung sedang, misalnya dalam konteks intoleransi, khatib setuju tapi tidak sampai memprovokasi jamaah untuk bertindak intoleran. Sedangkan kategori tinggi adalah level tertinggi di mana khatib bukan sekadar setuju, tetapi juga memprovokasi umat agar melakukan tindakan intoleran. (Kendi Setiawan)