Cirebon, NU Online
Jangankan ke kampung halamannya di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Fatayat Nahdlatul Ulama Maroko Rona Alyfah Hijriyyah juga harus rela menunda mudiknya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Maroko yang terletak di Rabat. Pasalnya, dua hari pasca lebaran, ia harus menempuh ujian.
"Nggak mudik, karena dua hari setelah lebaran itu ujian kenaikan kelas," katanya kepada NU Online pada Kamis (30/5).
Karenanya, mahasiswi Institut Imam Nafie itu memilih merayakan Idul Fitri di kota tempat tinggalnya saat ini, Tangier. Meskipun demikian, ia berencana tetap akan melaksanakan rutinitas tahunannya itu setelah ujiannya rampung bersama rekan-rekannya yang sedang berstudi di Kota Tangier, 250 KM sebelah utara Rabat.
"Berat di ongkos juga kalau harus bolak balik. Jadi lebih baik nanti saja setelah ujian selesai, sekalian tinggal di Rabat," ujarnya.
Dijelaskan, untuk menuju ibukota Maroko itu, alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang tersebut biasanya menggunakan bus umum dari terminal Tharqiyah, Tangier, menuju terminal Rabat. Perjalanan tersebut menghabiskan biaya 80 Dirham Maroko atau sekitar Rp120 ribu dengan waktu tempuh sekitar empat jam.
Dari situ, barulah ia dan santri-santri perempuan dari Tangier itu menuju rumah yang sudah disewakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) untuk beristirahat lebih dahulu sebelum menuju KBRI.
Selain menggunakan bus, untuk sampai di Rabat juga bisa ditempuh dengan menggunakan kereta cepat al-Buraq yang baru diresmikan pada 15 November tahun lalu oleh Raja Mohammed VI dan Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Alyfah mengungkapkan bahwa perjalanan bus empat jam bisa dilipat menjadi satu jam saja jika menggunakan kereta cepat tersebut. Namun, tingginya biaya membuatnya enggan memilih angkutan tersebut. Menurutnya, biaya termurah 127 Dirham Maroko atau setara Rp200 ribu.
Setelah istirahat, barulah pagi-pagi ia dan kawan-kawannya menuju KBRI. Biasanya, kata Alyfah, ada jemputan mobil dari KBRI untuk anggota PPI Maroko. Namun, jika tidak, ia menggunakan taksi kecil yang berisi maksimal tiga orang atau taksi besar yang berisi maksimal enam orang dengan rute yang sudah ditentukan. Di sana juga, katanya, ada angkutan daring (online) Careem.
Barulah Alyfah melaksanakan shalat Idul Fitri di Aula KBRI bersama warga Indonesia yang ada di Negeri Maghrib itu. Selepas shalat, jemaah saling bersalam-salaman, maaf-maafan, dan dilanjutkan dengan makan-makan. "Abis itu ada acara ramah tamah di Wisma Duta KBRI, makan-makan lagi," ungkapnya sembari tertawa.
Senang tentu saja menjadi hal yang dirasakan bersama oleh Alyfah dan masyarakat Indonesia yang berlebaran bersama di sana. Pasalnya, selain bisa jumpa saudara setanah air, KBRI juga menyediakan menu lengkap khas lebaran.
"Ya senang bisa lebaran dengan orang-orang Indonesia, ketemu sama saudara setanah air, ketemu makanan khas lebaran dengan menu lengkap, semuanya khas Indonesia, seperti rendang, opor, sambal goreng, bakso, bakwan, dan lain-lain," ungkapnya.
Terlebih tahun lalu, katanya, ia dan para pelajar lainnya mendapat THR dari pejabat di KBRI masing-masing 200 Dirham Maroko. "Tahun kemarin ada, malam lebaran perorang diberi 200 Dirham," ujarnya penuh rona kebahagiaan.
Biasanya, Alyfah dan para pelajar tersebut akan menghabiskan sebulan tinggal di sana. sebab, selain berlebaran, kegiatan PPI Maroko dan PCINU Maroko sudah berjajar mengingat sudah memasuki waktu libur musim panas.
"Ada musyawarah besar PPI, terus kegiatan-kegiatan PCINU juga dilaksanakan pada saat musim panas," ucapnya.
Untuk tahun ini, Alyfah berencana melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan dekat terminal Tangier. Namun, ia masih belum tahu untuk agenda selanjutnya di hari suci itu. Pasalnya, kata Alyfah, semuanya tengah menghadapi ujian.
"Belum tahu agendanya gimana. Bisa jadi ada acara masak-masak opor, bisa jadi gak ada karena semua penghuni Tanger ujian," pungkasnya. (Syakir NF/Muiz)