Seolah memasuki sebuah mesin waktu, tiba-tiba saya merasa terlempar ke dalam masa-masa sulit di mana seorang Bung Karno harus segera memutuskan dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan atau tidak. Lima teman sudah begitu semangat untuk melaksanakan pengibaran bendera merah putih saat ulang tahun kemerdekaan Indonesia, di negeri orang, Yaman, salah satu titik jazirah yang terletak di Asia Barat Daya.
<>
Pembicaraan dimulai seiring disajikannya teh hangat agar kesemangatan ini tidak mudah padam. Menurut sebagian orang, mengibarkan selembar bendera adalah perkara mudah. Itu juga yang sebelumnya terekam dalam otak kami para santri perantau yang sedang menuntut ilmu dan berkah di Universitas al-Ahgaff Yaman. Namun ternyata tidak, untuk memperoleh kain dengan dua warna kebanggaan negeri asal, merah dan putih, kami tentu harus menempuh sekian puluh kilometer ke pusat kota, itu pun tak kami ketahui di toko yang mana. Lagi pula, gagasan ini penting juga untuk diketahui dan dibantu oleh banyak mahasiswa Indonesia yang lain, padahal, hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tiba esok hari, tak ada waktu lagi.
Melihat dan menimbang serangkaian kendala yang dihadapi, akhirnya kami berenam berikhtiar untuk meneruskan gagasan ini ke sebuah rapat rutin yang diselenggarakan oleh Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff. Kembali seperti merasa di negeri Indonesia era 1945, di majelis terhormat tersebut, akhirnya diputuskan bahwa sang saka merah putih yang akan dikibarkan adalah selembar bendera yang -mau tidak mau harus kami- buat sendiri, dibantu oleh kepanitiaan yang dibentuk secara mendadak untuk menghadapi perayaan besok.
Usai rapat, muncullah gagasan yang dilontarkan seorang mahasiswa Indonesia bernama Taufan. Alumni Pesantren Buntet Cirebon ini mengidekan agar sang saka yang akan dikibarkan tersebut dibuat dari dua baju koko miliknya yang kebetulan berwarna merah dan putih. Tanpa banyak basa-basi, Taufan menunjukkan kedua baju tersebut. Dengan saksama ia mulai menggunting dua baju koko kesayangannya satu persatu, tak lama, setelah menjadi bentuk lembaran yang sama, dua warna kain merah putih tersebut digabungkan menjadi sebuah bendera kebanggaan bangsa.
Selama Taufan menjahit dengan menggunakan tangannya. Kami merasa sangat terharu sekali. Sebab, seperti halnya yang dilakukan oleh seorang Ibu Fatmawati, kami juga mengiringi Taufan bekerja dengan sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Kini, di depan kami, sang saka merah putih sudah tampak cantik dan rapi. Pengorbanan dua buah baju koko kesayangan dan waktu begadang memang tak sebanding dengan pengorbanan jiwa dan raga para pejuang dulu, namun rasa-rasanya, kami akan sangat bangga ketika tepat pada tanggal 17 Agustus 2014, pukul 05.30 KSA, karya kebanggaan ini akan dikibarkan di Pantai Foah, Mukalla, bersama ratusan mahasiswa Indonesia lainnya.
Akhirnya, inilah sejarah sederhana namun serasa begitu penting di mata kami, bendera merah putih hasil jahitan tangan pertama kali di Mukalla berada tepat di hadapan kami. Merdeka!
Ro’fat Hamzi, Santri Universitas al-Ahgaff Yaman; alumni Pesantren Gedongan Cirebon, Jawa Barat; kontributor tetap pembelajaran Bahasa Arab di MadingSekolah.Net | Portal Pelajar Indonesia.