Ulama Nusantara Kedepankan Uswatun Hasanah dari Mauidzah Hasanah
Ahad, 29 Juli 2018 | 07:30 WIB
Sebagian kelompok masih ada yang beranggapan bahwa umat Islam di Indonesia masih sebatas Islam turunan, yakni memeluk agama Islam karena warisan dari para orang tua dan leluhurnya. Ibadah-ibadah keseharian juga dinilai masih banyak yang tidak memiliki dasar kuat dan asal ikut dengan tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Padahal jika dikaji lebih mendalam serta dikaitkan dengan hukum-hukum yang ada dalam agama Islam, ibadah tersebut memiliki dasar kuat serta tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi yang ada dan sudah diamalkan hakikatnya malah mengandung nilai-nilai agama yang seharusnya dipraktikkan oleh umat Islam.
Dalam memberikan pendidikan dan pelajaran kepada umat, para ulama dan kiai terdahulu lebih mengedepankan uswatun hasanah (suri tauladan) daripada mauidzah hasanah (ceramah). Merekapun tidak dengan gampangnya mengeluarkan dalil-dalil yang sebenarnya sudah dipegang dan menjadi dasar atas amaliah yang diajarkan kepada umat.
Hal ini diungkapkan Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung, KH Munawir terkait amaliah-amaliah mayoritas umat Islam di Indonesia yang di era saat ini mulai digugat oleh paham-paham Islam transnasional melalui propaganda di berbagai media.
"Kita khususnya warga NU harus yakin, para kiai mengarahkan umatnya ke arah yang lebih baik. Para kiai pendahulu sampai dengan Khadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari memiliki sanad keilmuan yang jelas. Jadi sudah jadi keharusan untuk ikut dengan kiai," tegasnya, Ahad (29/7).
Ia menyayangkan segelintir orang dan kelompok yang senang menafsirkan dan memahami konsep agama Islam sesuai dengan nafsu dan pemahamannya sendiri. Mereka sering membuat ijtihad sendiri melalui pemahaman sendiri. Lebih dari itu, mereka menganggap pemahaman merekalah yang paling benar dan menilai yang sudah menjadi tradisi di masyarakat salah karena tidak ada dalilnya.
Ia memberikan contoh tradisi yang dicontohkan para ulama yaitu memotong hewan qurban secara bersama-sama di masyarakat yang dikoordinir oleh kepengurusan masjid. Ada yang menggugat tentang apa dasar yang digunakan atas tradisi menyembelih hewan kurban bersama-sama ini.
Pemahaman seperti ini lanjutnya sangat tekstualis dengan tidak melihat sudut pandang sosial serta tidak kontekstual. Ketika disembelih bersama jelasnya maka akan ada kebersamaan dan mempererat hablun minannas. Hal seperti ini yang tidak dimasukkan dalam memahami dalil-dalil yang ada.
"Gampang menyalahkan amaliah orang lain memang karena tidak ada dalil atau belum tahu dalilnya?. Ini harus diluruskan sehingga memang harus terus belajar dan belajar. Ilmu Allah SWT sangat luas," ajaknya pada Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di aula Gedung NU Pringsewu. (Muhammad Faizin)