Yogyakarta, NU Online
Diskusi, aksi dan refleksi merupakan trias organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tradisi diskusi merupakan agenda rutin malam Jumatan PMII Humaniora Park Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Yogyakarta yang dilaksanakan setelah Yasinan.
<>
Kamis (12/3) jam 19.30 WIB PMII Humaniora Park kembali mengadakan diskusi yang dipandu langsung oleh pengurus Rayon. Ahmad Riyanto membahas tentang konsep ashabiyah Ibnu Khaldun yang berkaitan dengan solidaritas kelompok.
Referensi buku yang digunakan dalam diskusi tersebut berjudul “Muqaddimah: karya Ibnu Khaldun”. Dalam buku tersebut memiliki banyak bahasan, diantaranya adalah sejarah, ekonomi, politik dan lingkungan sosial.
Ahmad Riyanto menegaskan konsep ashabiyah hanya berlaku bagi masyarakat nomaden. Dalam masyarakat Arab lebih dikenal dengan istilah kafilah. Namun masyarakat yang nomaden pada akhirnya akan menetap jika menemukan tempat yang membuatnya bertahan hidup. Apabila masyarakat mulai menetap maka dengan sendirinya Ashabiyah sedikit demi sedikit akan hilang.
Ia menambahkan, pemikiran Ibnu Khaldun memiliki kemiripan dengan pemikirannya Emile Durkheim. ”Pemikirannya Ibnu khaldun sama dengan pemikirannya Durkheim tentang solidaritas mekanik dan organik”. Hanya saja, lanjut dia, pada waktu itu Ibnu Khaldun belum membagi secara spesifik masyarakat desa dan kota.
Sementara Asep Mahfud selaku peserta diskusi mebenarkan hal yang demikian. Karena Ibnu Khaldun lahir duluan dibandingkan dengan Durkheim. ”Saya ingat perkataaannya dosen saya Pak Andi, bahwasanya Durkheim dicurigai menjiplak pemikiran Ibnu khaldun”.
Dalam teorinya Ibnu Khaldun disebutkan ketika masyarakat berada dalam tatanan masyarakat yang berkelompok. Maka kehidupan masyarakat penuh dengan berbagai aturan dan kesepakatan bersama dalam masyarakat. Untuk mengkontektualisasikan teori Durkheim secara geografis antara kota dan desa saat ini mengalami kesulitan. “Apalagi saat ini juga ada istilah masyarakat pinggiran kota”, ungkap Ahmad Riyanto.
Thoriq, peserta diskusi juga berpendapat, untuk membedakan masyarakat kota dan desa secara sistem sosial adalah dengan cara melihat perilaku masyarakat yang ada. “Kalau di desa sangat kental dengan istilah gotong-royong, sedangkan di kota sudah terkotak-kotak sesuai dengan pekerjaan. Hal itulah yang menjadi ciri khas kota dan desa”,ujarnya. (Hendris/Abdullah)