Probolinggo, NU Online
Lahir dengan keterbatasan fisik, tidak membuat Muhtar (24 tahun) menyerah. Ia tetap mengasah kemampuannya hingga mampu menghidupi dirinya sendiri. Semangat Muhtar memang patut ditiru. Meski memiliki kaki yang tidak sempurna sejak lahir, tidak sekalipun terbersit dalam benarnya untuk menggantungkan hidupnya ke orang lain. Dirinya memilih menekuni seni kaligrafi untuk menghidupi dirinya.<>
Dengan keahlian menulis kaligrafi, mendesain undangan hingga melukis, setiap bulannya tidak kurang dari 10 pesanan ia terima dari berbagai kalangan. “Kebanyakan dari warga Kabupaten Probolinggo,” ujar lelaki yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa STAI Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo ini kepada NU Online, Selasa (18/6).
Dari sekian keahlian yang dimilikinya, seni kaligrafi yang paling banyak diminati. Muhtar mengaku mematok harga paling murah Rp150 ribu sampai Rp300 ribu. “Bergantung tingkat kesulitan dan bahan yang akan digunakan. Biasanya saya gunakan kaca, gabus dan kain. Semuanya tergantung dari pesanan pelanggan,” jelasnya.
Sedangkan untuk karya lukis, Muhtar mengaku mematok harga dari Rp200 ribu sampai Rp300 ribu. Muhtar mengaku bahan baku dan tingkat kesulitan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan harga. Order pesanan seni lukis yang banyak dikerjakan Muhtar adalah seputar pemandangan alam. “Pelanggan suka pemandangan suasana pertanian,” terangnya.
Lelaki kelahiran Kabupaten Sampang ini mengatakan keberhasilan tersebut diraih tidak lepas dari pengajaran yang diberikan sang nenek. Ya, menurutnya mahasiswa yang tidak memiliki tungkai kaki kanan ini, neneknyalah yang membesarkan dia di Dusun Kalibanter Desa Kalipenggung Kabupaten Lumajang. “Saya dibesarkan nenek meski orang tua masih ada di Madura,” kenangnya.
Selama berada dalam asuhan neneknya, Muhtar diminta menuntut ilmu di Pesantren Mihtahul Ulum di Desa Banyuputih Kabupaten Lumajang. “Sekitar tujuh tahun saya mondok. Yang membiayai pendidikan ya nenek. Beliau menghidupi saya dengan berjualan keliling menjajakan alat-alat rumah tangga,” ingatnya.
Selama di pesantren, Muhtar semakin semangat menuntut ilmu. Mengingat semangat neneknya yang juga tidak surut mencari uang untuk biaya pendidikannya. “Di pesantren saya diajari seni kaligrafi dan mengajar Al-Qur’an. Dari situlah saya tekuni keahlian itu agar bisa mandiri. Selain itu untuk membuat nenek bahagia,” ungkapnya.
Setelah berhasil menyelesaikan studinya di Madrasah Aliyah (MA), neneknya menyemangatinya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Keinginannya melanjutkan sekolah sempat patah saat mendengar salah satu tetangganya mencibir dirinya. “Sudah fisik tidak sempurna, masih tetap saja merepotkan neneknya untuk melanjutkan sekolah,” ungkap Muhtar menirukan cibiran tetangganya.
Tetapi neneknya malah mendorongnya bersekolah. Sang nenek bahkan lebih bersemangat melihat Muhtar sekolah S1 dari pada dirinya sendiri. Padahal kala itu penghasilan neneknya pas-pasan. Sayangnya keinginan sang nenek melihat cucunya kuliah hanya tinggal keinginan. Pasalnya, sang nenek terburu meninggal dunia sebelum Muhtar kuliah. “Ketika mendapat kabar kematian nenek, saya kebetulan menyempatkan diri ikut kursus di Kabupaten Sampang,” kata lelaki yang bercita-cita menjadi pengajar ini.
Muhtar mengaku sempat terpukul. Namun ia selalu teringat pesan neneknya yang memintanya menuntut ilmu hingga jenjang yang lebih tinggi. “Nenek selalu berpesan agar selalu berhati-hati dimanapun menuntut ilmu dan selalu berbuat baik pada sesama,” akunya.
Meski diakui Muhtar saat ini dirinya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi Muhtar mengaku masih dibantu kedua orang tua dan kakaknya untuk membayar uang kuliah. “Setiap semesteran masih dapat kiriman dari orang tua dan kakak,” pungkasnya.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor : Syamsul Akbar