Daerah

Santri NU Tidak Telan Mentah Berita di Medsos

Kamis, 19 Januari 2017 | 13:33 WIB

Semarang, NU Online
Pondok Pesantren Durrotu Aswaja, menggelar dialog interaktif bertajuk "Menyikapi Berita “hoax” dan Santun dalam Bermedia Sosial" di aula pertemuan Pesantren Durruto Aswaja Jalan Kalimasada Sekaran, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, Rabu malam (18/1).

Dalam kesempatan itu, hadir Wakil Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jepara M. Abdullah Badri dan Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah Hamidulloh Ibda. Badri, sapaan M. Abdullah Badri, menegaskan bahwa mengonsumsi berita “hoax” memang harus cerdas. Sebab, menurut dia, santri tidak hanya menelan mentah-mentah berita yang beredar di media sosial.

"Kalau tidak memakai pola pikir yang benar, berita “hoax” kalian konsumsi, makanya kalian mudah mengatakan “kafir”, “cina”, “wahabi”, “yahudi”, “halal darahnya” dan lainnya itu. Santri NU tidak boleh begitu, dan harus cerdas menyikapinya," ujar Badri di hadapan ratusan santri tersebut.

Penulis buku "Kritik Tanpa Solusi" tersebut juga menandaskan, bahwa di dunia pemberitaan, berita “hoax” tidak selamanya bohong, tapi juga ada yang direkayasa dan menjadi propaganda untuk kepentingan tertentu. "“Hoax” itu bukan selalu bohong, bisa dibuat nyata, tapi catatannya bohong kalau fake news (berita palsu), itu direkayasa, dan tidak jelas rujukannya. Jadi, itu harus dibedakan, mana “hoax” news dan mana fake news," beber Badri.

Alumnus MA TBS Kudus itu juga mencontohkan bahwa NU saat ini diserang dengan memberitakan “hoax” Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. "Memang Indonesia dan Islam saat ini mau dipecah. Salah satunya menyerang lewat NU. Memang NU kuat kultur dan budaya pesantrennya, makanya diserang dulu," lanjut dia.

Ia juga membeberkan, belakangan ini banyak sekali berita “hoax” yang bertujuan melemahkan dan menyerang KH Said Aqil Siroj dalam rangka melemahkan NU. "Konsep hubbul wathon minal iman, itu yang pertama kali memelopori ya NU. Makanya kita harus menjadi NKRI ini dari perusak, salah satunya penyebar “hoax” itu," beber dia.

Oleh karena itu, kata dia, saya memegang teguh dawuh Habib Luthfi Bin Yahya bahwa kita harus menjaga NU, kiai dan NKRI. "Kalau ada, siapa saja yang menghina, merendakah dan memberitakan “hoax” pada kiai NU, kita wajib melawannya," tegas dia.

Menjaga kiai, kata Badri, menjaga NU dan jaga NKRI, itu yang dipesan Habib Luthfi yang harus dipegang teguh agar Indonesia dan NU aman. "Kita ini memang berada dalam kondisi peperangan, yaitu perang siber, maka berita “hoax” harus dilawan dan disikapi dengan cerdas," imbuh dia.

Sementara itu, Hamidulloh Ibda Direktur Utama Formaci Jateng juga menambahkan, data tahun 2014 menyebutkan pengguna Facebook di Indonesia mencapai 77 juta, sementara 2015 mencapai 82 juta pengguna. "Sampai Oktober 2016 menurut catatan Kompas, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 88 juta orang. Sedangkan pengguna layanan chatting WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna dan Messenger sebanyak 1 miliar pengguna, serta Instagram sebanyak 500 juta pengguna," beber alumnus Pascasarjana Unnes tersebut.

Data tersebut sangat berpengaruh terhadap komsumsi berita di medsos, baik itu Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Apalagi, masyarakat saat ini, kata dia, lebih percaya isu daripada berita valid. Ironisnya, berita “hoax” menjadi alat untuk menghancurkan jurnalisme demi mendapatkan kekuasaan dan perang politik.

Padahal sebuah berita, lanjut dia, dalam kerja jurnalistik harus melalui tahap wawancara dan klarifikasi serta memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why, Where, When dan How). "Idealnya, sebelum membaca, mengomentari dan membagikan berita di medsos, santri harus membaca dan klarifikasi, jangan asal membagikan," imbuh dia.

Menurut dia, santri dan utamanya mahasiswa harus pandai memilah dan memilih berita yang datang dari media online saat ini. Dijelaskan dia, bahwa syarat menjadi media online saat ini minimal harus berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas), dapat SIUP dan didaftarkan di Dewan Pers agar bisa dapat barcode.

"Kalau media onlinenya tidak jelas, ya sudah kita tabayyun, klarifikasi saja kepada narasumber atau kepada pihak yang bisa kita kroscek. Soalnya kita saat ini memang dalam banjir berita, jadi kalau tidak bisa menangkal berita “hoax”, kita ya akan terprovokasi dan tertipu," ujar penulis buku “Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner” tersebut.

Anda di sini mahasiswa dan mahasiswi, kata dia, maka kalau sumber mendapatkan kebenarannya tidak jelas ya lucu. "Kalau wartawan bisa saja mendasarkan kebenaran pada wawancara dan klarifikasi. Tapi kalau ilmuwan kan harus empiris, minimal memenuhi standar kualifikasi ilmu, yaitu melalui tahap ontologi, epistemologi dan aksiologi. Bukan asal percaya informasi, apalagi itu “hoax”," ujar mantan Sekretaris IPNU Dukuhseti Pati itu.

Ia berharap, santri Pondok Pesantren Durrotu Aswaja ke depan semakin menggali potensi literasi yang ada guna untuk menangkal berita “hoax”. "Santri kan punya metode sendiri dalam mendapatkan kebenaran yang sudah diajarkan di pondok. Nah itu silakan dimaksimalkan agar terhindar dari “hoax”," pesan dia.

Di sisi lain, Ketua Pengurus Pondok Pesantren Durrotu Aswaja Semarang Rodli Mahfudin, berharap agar kegiatan itu mampu membuat santri tercerahkan atas berita “hoax” yang selama ini beredar pesat di media sosial. "Harapannya santriwan dan santriwati menyerap materi berita “hoax” dan menyikapinya dengan santun," beber dia. (Siwi Fatmawati /Abdullah Alawi)



Terkait