Remaja Nahdliyin Cirebon Gagas Gerakan “Comeback to Mosque”
Rabu, 14 Maret 2007 | 00:48 WIB
Cirebon, NU Online
Kalangan remaja dan mahasiswa nahdliyin di Kota dan Kabupaten Cirebon yang tergabung dalam Jamiyah Nahdlatut Thullab sejak Jum’at (9/3) lalu melakukan koordinasi secara berkala dengan sejumlah kelompok jamiyah remaja yang tersebar di pelosok desa dan kelurahan. Kegiatan tersebut sebagai tahap awal dari realisasi gerakan “Comeback to Mosque” yang digagas Jam’iyah Nahdlatut Thullab sebagai respons atas gerakan yang didengang-dengungkan kalangan NU di tingkat pusat.
Ketua Jam’iyah Nahdlatut Thullab, Taufik Hidayat didampingi pembina jam’iyah, Kalil Sadewo SSosI mengatakan, banyaknya masjid yang diambilalih oleh kelompok lain yang mengusung pembusukan terhadap kelompok NU ternyata juga banyak terjadi di Cirebon, terutama di wilayah perkotaan. “Kita prihatin atas kondisi ini. Kawasan kota memang rentan, karena dasar ke-NU-an warganya sangat minim. Sehingga banyak dari mereka yang meninggalkan tradisi NU seperti tahlilan dan lainnya,” ungkap Taufik.
<>Sementara Pembina Jam’iyah Nahdlatut Thullab Kalil Sadewo lebih menyoroti peran dan gerakan kalangan elit NU di Kota dan Kabupaten Cirebon sebagai penyebab diambilalihnya masjid dan lembaga tertentu yang seharusnya dikuasai oleh kalangan nahdliyin yang merupakan kelompok mayoritas. Menurut Kalil Sadewo, elit NU lebih asyik pada aktivitas dan pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Pengurus Ikatan Sarjana NU (ISNU) Kota Cirebon yang juga Dewan Pembina Forum Mahasiswa Cirebon (FMC) ini mengkritik kecenderungan tokoh NU lokal yang berdekatan dengan kekuasaan tapi untuk kepentingan kelompok atau dirinya sendiri. Sedangkan kaderisasi, penguatan dakwah, pengorganisiran jam’iyah dan hal lainnya dalam rangka penguatan basis nahdliyin sangat minim, termasuk penguatan perekonomian mereka. Ini yang membuat NU semakin ditinggalkan.
“Di Cirebon sudah tidak aneh lagi kedekatan antara elit NU dengan kekuasaan hanya untuk membuat bangunan pesantrennya lebih megah, sementara jumlah santri terus berkurang. Berlomba memperbanyak ruang kelas sekolah dan lainnya, tapi aktivitas dakwah berhenti. Bahkan terjadi ketimpangan, bantuan dari pemerintah diprioritaskan untuk pesantren dan bangunan sekolah yang dikelolanya, sementara di samping bangunan itu banyak warga yang makan nasi aking (nasi basi yang dikeringkan lalu di masak lagi). Ini tragis. Bahkan warga miskin yang makan nasi aking yang merupakan warga nahdliyin justru dibantu oleh ormas Islam yang selama ini dikenal sebagai fundamental radikal yang telah menghasut NU itu,” tandasnya.
Atas dasar keprihatinan itu, Jam’iyah Nahdlatut Thullab kata Taufik memiliki program penguatan kembali gerakan dakwah termasuk pemberdayaan ekonomi kalangan muda dan remaja nahdliyin. Di antara programnya adalah mengorganisir, menggerakkan dan memfasilitasi pembekalan dan penguatan dasar ke-NU-an atau ideologi ahlussunnah waljamaah kepada kader dakwah muda dan remaja yang diterjemahkan ke dalam kegiatan-kegiatan produktif. Muaranya adalah terbangunnya semangat dakwah sejak muda, dan jika sudah kuat bisa dilakukan distribusi kader dakwah ke masjid-masjid.
“Kegiatan kami mulai dari desa-desa dan pinggir kota. Yang telah kami lakukan adalah silaturahmi remaja dan pemuda yang digelar Jam’iyah Nahdlatut Thullab di Desa Pegagan Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon yang dihadiri adik Sultan Kanoman, Ratu Raja Arimbi dan Ketua GP Ansor Kabupaten Cirebon Ustad M Arif Suhartono yang sekaligus menjadi penceramah,” beber Taufik.
Taufik juga mengungkapkan, dalam silaturahmi juga terumuskan sejumlah hambatan dakwah yang selama ini muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai penyebab tidak sampainya pesan dakwah dari para pendakwah nahdliyin. Di antaranya yang paling pokok adalah budaya konflik yang terjadi antarda’i/ustad/ulama dan tidak ada garis koordinasi antara NU struktural dengan simpul dakwah yang tersebar hampir di tiap RT akibat asyik terjebat dalam orientasi elitis.(ksd)