Lombok Utara, NU Online
Bagi Pengasuh Pesantren Nurul Bayan Kabupaten Lombok Utara (KLU) TGH Abdul Karim Ghafur, pesantren harus memiliki kemandirian dalam segala hal. Jika terlalu bergantung kepada pemerintah, akan sulit berkembang di masa mendatang.
Hal tersebut dikatakannya saat menerima kunjungan NU Online yang didampingi utusan Kanwil Kemenag NTB dan Kemenag KLU, Rabu (30/3) siang. Bagi Kiai Karim, karakteristik pesantren yang menonjol adalah harus mandiri, baik secara ekonomi, kurikulum, dan sistem pendidikan.
“Kalau masih terlalu kuat ketergantungannya kepada pemerintah dalam segala hal, akan makin susah dan jangka panjangnya makin berat,” ujar Ketua MUI KLU ini.
Kiai muda lulusan Universitas Baghdad Irak ini mencontohkan, jika pondok tidak mandiri secara ekonomi, hampir pasti bergantung kepada dana Bantuan Operasional Sekolah, dan Bantuan Siswa Miskin. “Nanti kalau BOS dan BSM habis, gimana. Bisa-bisa habis juga pesantren,” sergahnya.
Oleh karena itu, lanjut Karim, pihaknya melatih diri dan para santri agar tidak bergantung kepada pemerintah. Pertama, seluruh santri iuran untuk merawat pondok. Baik berupa uang asrama, peralatan. “Lalu, uang operasional. Jadi, ada kontribusinya. 100 ribu, misalnya. Itu kan nggak seberapa. Kalau pesantren memiliki 400 santri, sudah 40 juta tiap bulan,” paparnya.
Dari dana itu, Karim melanjutkan, sudah bisa menopang operasional. Kedua, pesantren musti memiliki unit usaha. Selain iuran santri, pihaknya juga mendirikan Warung Serba Ada (Waserda) dan Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) bagi para santri. Usaha kreatif seperti membuat tempe dan jualan telur juga dilakukan untuk melatih kemandirian santri.
“Di belakang, kami juga punya peternakan ayam dan bebek. Ada juga konveksi. Jadi, baju-baju santri, seragam, dan jas, semua dijahit sendiri. Kami juga jadi pengepul kelapa dari warga sekitar. Lalu mengirimnya satu fuso seminggu ke Jawa. Jadi, dari aktivitas itu dana berputar,” ungkap Kiai Karim.
Menurut pria lulusan Pesantren Gontor ini, sekitar 25 persen operasional pondok terbantu dari aneka usaha tersebut. Pengelola beberapa unit usaha tersebut para santri senior dan para guru muda yang ia percaya. “Makanya, BSM nggak saya ambil. Di sini bukan nggak ada yang miskin, tapi mental miskinnya yang kami tidak mau,” ujarnya mantap.
Kiai Karim lalu mengutip sebuah hadis bahwa al-takaffuf alannas (bergantung kepada manusia) itu tidak baik. “Kami mengajarkan itu kepada para santri. Apalagi negara kita belum sepenuhnya berdikari secara ekonomi. Kita bantu pemerintah lah, jangan justru membebaninya,” tandasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)