Daerah

Pemimpin Dayah Ini Sayangkan Sebagian Masyarakat Sambut Gerhana

Rabu, 9 Maret 2016 | 09:01 WIB

Pemimpin Dayah Ini Sayangkan Sebagian Masyarakat Sambut Gerhana

Santri di Dayah (pondok pesantren) Al-Aziziyah Bireun Aceh sedang mendengarkan khotbah shalat gerhana.

Bireun, NU Online
Dalam menyampaikan khotbah shalat gerhana yang dilaksanakan di komplek Dayah (Pondok Pesantren) Jamiah Al-Aziziyah Batee Iliek, Bireun, Aceh, Rektor IAI Al-Aziziyah yang juga pimpinan dayah ini, Tgk Muntasir A Kadir menyebutkan ada sebagian umat Islam hari ini yang menyambut peristiwa gerhana dengan cara-cara jahiliyah. Dia sangat menyayangkan hal seperti itu karena menurutnya peristiwa gerhana adalah sesuatu yang seharusnya dijadikan i’tibar bagi kaum muslimin.

Tgk Muntasir menyebutkan, ada sebagian orang yang sengaja datang jauh-jauh dan dari jauh hari telah memesan hotel hanya sekadar untuk melihat pertunjukan yang menghadirkan sederet artis ibu kota di pantai-pantai. 

“Kenapa dinamakan jahiliyah, karena peristiwa gerhana adalah tanda alam yang seharusnya menjadi i’tibar dan diambil pelajaran di dalamnya. Ketika peristiwa gerhana kita dianjurkan untuk melakukan shalat, memperbanyak doa dan istighfar,” ujarnya.

Matahari dan bulan adalah dua di antara makhluk Allah yang besar, lanjutnya, kalau keduanya tidak berdaya dan tunduk di bawah kekuasaan Allah, maka apalagi dengan kita hamba yang lemah ini. Karena itu kita tidak boleh sombong dan harus senantiasa ingat kepada Allah SWT. 

Adanya gerhana matahari dan bulan juga menjadi pelajaran bagi mereka yang menjadikan keduanya sebagai sesembahan. Karena bagaimana mungkin matahari dan bulan patut untuk disembah, sementara keduanya tidak mampu menolak kekurangan yang Allah munculkan dengan pudarnya cahaya tatkala terjadinya gerhana. “Maka seharusnya peristiwa gerhana semakin mempertebal keimanan kita,” terangnya.

Menurutnya, memang ada sedikit perbedaan antara jahiliyah masa lalu dengan jahiliyah dewasa ini dalam menyikapi gerhana. Kalau jahiliyah masa lalu, katanya, mereka akan memukul lonceng atau bunyi-bunyian. Hal itu dilakukan karena dalam anggapan mereka penyebab terjadinya gerhana matahari dikarenakan matahari ditelan oleh sebuah makhluk besar seumpama raksasa. 

Mereka meyakini, dengan suara bunyi-bunyian itu raksasa jadi takut hingga akhirnya matahari dimuntahkan kembali. Keyakinan itu semakin bertambah ketika gerhana berakhir yang dalam anggapan mereka itu pertanda matahari telah dimuntahkan kembali. 

“Namun demikian, apa yang ditunjukkan oleh jahiliyah masa lalau dan jahiliyah modern sama-sama tidak menjadikan peristiwa gerhana sebagai ibrah atau pelajaran, dan cara itu sangat bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW,” jelasnya. (M Iqbal Jalil/Fathoni)


Terkait