Ungkapan Jawa “nyuwun sewu” bukan sebatas kata permisi, minta izin atau mengharap persetujuan. Namun lebih dari itu, nyuwun sewu adalah bentuk pengukuhan jati diri untuk menerima dan memberi kepada orang lain tanpa melihat ras, agama dan oknum tertentu.
Itulah di antara alasan Ngijabi (Ngadipoera Jaman Biyen) 2016 kali ini mengangkat tema tersebut. Ngijabi adalah suatu pesta rakyat rutinan kota Malang, Jawa Timur, yang bertempat di Velodrom, Madyopuro, Kota Malang, 29 Maret-2 April 2016. Berbagai komunitas dari dalam dan luar Malang berkumpul, berbagai perhelatan seni hingga jajanan pasar ditampilkan di sini.
Menurut Didit selaku panitia, kata “nyuwun sewu” itu mengandung simbol kearifan lokal yang didialogkan secara sederhana dan ramah.
Pertama, Nyuwun sewu adalah bentuk penyerahan diri untuk kesediaan memberi dan menerima dalam hidup damai dengan beragam perbedaan yang ada. Hal ini perlu dikenalkan pada generasi muda dan juga dilestarikan.
Kedua, nyuwun sewu adalah bentuk persetujuan, keyakinan akan diri untuk hidup bersama secara kolektif dalam beragama, melakukan kegiatan bersama warga, dan gotong royong.
Ketiga, kata nyuwun sewu adalah bentuk penghormatan kepada alam sebagai rahim yang menyuguhkan sumber kehidupan. “Nyuwun sewu” merupakan komitmen pada diri untuk terus menjaga alam dari berbagai kerusakan sebagai investasi untuk generasi berikutnya.
Keempat, nyuwun sewu sama halnya menghargai sesama manusia sebagai makhluk sejajar-setara dan sesama. Keenam, nyuwun sewu merupakan ungkapan syukur pada Ilahi, pembuka salam pada sesama sebagai tanda sapa dan menyadari jika segala kekuatan yang diperoleh hanyalah akan bermakna dengan anugerah Ilahi.
“Dari pemikiran itulah kami mengangkat tema Nuwun Sewu dalam NGIJABI kali ini,” papar Didit selaku panitia pesta rakyat, Kamis (31/3). (Diana Manzila/Mahbib)