Surabaya, NU Online
Idul Adha adalah ritual keagamaan tahunan bagi umat Islam yang memiliki makna dalam konteks beragama sebagai makhluk yang meyakini adanya Tuhan. Pada saat yang sama dalam konteks bermasyarakat sebagai makhluk bersosial.
Demikian pula pengabadian kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail menunjukkan bahwa praktik penghambaan yang dilakukan bukan hanya layak dibaca dan direnungkan. “Tapi, layak pula diteladani dan dipraktikkan dalam konteks kehidupan kita, sebagai individu, masyarakat dan berbangsa,” kata KH Abdul Mujib Adnan, Rabu (22/8).
Karenanya, ada dua hal penting sehingga Ibrahim dan Ismail layak diteladani berdasarkan pada surat ash-Shaffat dari ayat 102 hingga 105. “Pertama, ketulusan dalam menerima perintah Allah SWT,” katanya saat menjadi khatib Idul Adha di Masjid Ulul Albab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Bagi Kepala Pusat Ma’had Al-Jamiah kampus setempat ini, ketulusan menjadi kunci keberhasilan dalam kehidupan. “Mengapa? Sebab ketulusan memaksa kita untuk berbuat baik, tanpa memandang untung dan rugi,” ungkapnya. Yang dipikir adalah berbuat sebaik mungkin, tapi yakinlah Allah melimpahkan rahmat bagi mereka yang tulus, lanjutnya.
Sedangkan makna kedua adalah membuka ruang dialog dengan pihak lain. “Sekalipun Ibrahim meyakini kebenaran mimpinya tapi tetap melakukan diskusi dialogis dengan Ismail,” terangnya.
Sebuah model diskusi yang terbuka sehingga tidak ada di antara dua pihak yang saling mendominasi. Semua akhirnya bersama-sama tulus dan memahami betul perintah Allah sebagai kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan, lanjutnya.
“Dialog model Ibrahim dan Ismail dalam konteks alam demokrasi menjadi sangat penting,” pesannya. Dengan dialog, perbedaan bisa cair dan dengan dialog punya penyelesaian problem kebangsaan akan mudah diselesaikan dengan baik.
Kiai Mujib mengingatkan kerap terjadinya saling sikut selama ini disebabkan kurang memaksimalkan peran dialogis sebagai jalan untuk melahirkan kemufakatan. “Yang terjadi ego mendomininasi dan kerugian yang lain tidak menjadi pertimbangan,” katanya.
Di akhir paparan, dirinya berharap idul kurban menjadikan Ibrahim dan Ismail sebagai titik pijak keteladanan sehingga mampu mensinergikan nilai ketuhanan dan kemanusiaan secara bersamaan.
“Ini bisa terjadi jika kurban tidak hanya dimaknai fisik tapi juga substansi, yaitu ketulusan sebagai bentuk kepatuhan yang senantiasa bersemayam dalam hati setiap individu,” pungkasnya. (Red: Ibnu Nawawi)