Daerah

Meneladani Keterbukaan Dialog Nabi Ibrahim dan Ismail

Rabu, 22 Agustus 2018 | 05:30 WIB

Surabaya, NU Online
Idul Adha adalah ritual ‎keagamaan tahunan bagi umat Islam yang memiliki makna dalam konteks beragama ‎sebagai makhluk yang meyakini adanya Tuhan. Pada saat yang sama dalam konteks bermasyarakat ‎sebagai makhluk bersosial.‎

Demikian pula pengabadian kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail menunjukkan bahwa praktik penghambaan yang ‎dilakukan bukan hanya layak dibaca dan direnungkan. “Tapi, layak ‎pula diteladani dan dipraktikkan dalam konteks kehidupan kita, sebagai individu, ‎masyarakat dan berbangsa,” kata KH Abdul Mujib Adnan, Rabu (22/8).‎

Karenanya, ada dua hal penting sehingga ‎Ibrahim dan Ismail layak diteladani berdasarkan pada surat ash-Shaffat dari ayat 102 hingga 105. “Pertama, ‎ketulusan dalam menerima perintah Allah SWT,” katanya saat menjadi khatib Idul Adha di Masjid Ulul Albab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Bagi Kepala Pusat Ma’had Al-Jamiah kampus setempat ini, ketulusan menjadi kunci keberhasilan dalam kehidupan. “Mengapa? Sebab ‎ketulusan memaksa kita untuk berbuat baik, tanpa memandang untung dan rugi,” ungkapnya. Yang dipikir ‎adalah berbuat sebaik mungkin, tapi yakinlah Allah melimpahkan rahmat bagi mereka ‎yang tulus, lanjutnya. 

Sedangkan makna kedua adalah membuka ruang dialog dengan pihak lain. “Sekalipun Ibrahim meyakini ‎kebenaran mimpinya tapi ‎tetap melakukan diskusi dialogis dengan Ismail,” terangnya.
Sebuah model diskusi yang terbuka ‎sehingga tidak ada di antara dua pihak yang saling mendominasi. Semua akhirnya bersama-‎sama tulus dan memahami betul perintah Allah sebagai kebenaran yang tidak perlu ‎diperdebatkan, lanjutnya. ‎

“Dialog model Ibrahim dan Ismail dalam konteks alam demokrasi menjadi sangat penting,” pesannya. ‎Dengan dialog, perbedaan bisa cair dan dengan dialog punya penyelesaian problem ‎kebangsaan akan mudah diselesaikan dengan baik. 

Kiai Mujib mengingatkan kerap terjadinya saling ‎sikut selama ini disebabkan kurang memaksimalkan peran dialogis ‎sebagai jalan untuk melahirkan kemufakatan. “Yang terjadi ego mendomininasi dan ‎kerugian yang lain tidak menjadi pertimbangan,” katanya.‎

Di akhir paparan, dirinya berharap idul kurban menjadikan Ibrahim ‎dan Ismail sebagai titik pijak keteladanan sehingga mampu mensinergikan nilai ketuhanan dan kemanusiaan secara bersamaan.

“Ini bisa terjadi jika kurban ‎tidak hanya dimaknai fisik tapi juga substansi, yaitu ketulusan sebagai bentuk kepatuhan ‎yang senantiasa bersemayam dalam hati setiap individu,” pungkasnya. (Red: Ibnu Nawawi)


Terkait