Temanggung, NU Online
Masjid Wali di Dusun Traju, Desa Gentan, kecamatan Kranggan merupakan masjid yang sangat unik. Terbilang unik karena masjid ini memiliki banyak keistimewaan yang tidak setiap masjid memilikinya.<>
Namun, anehnya, tak satupun masyarakat di dusun tersebut yang mengetahui sejarah berdirinya masjid ini. Yang ada pada anggapan mereka, masjid ini adalah peninggalan walisongo karena memiliki banyak kesamaan dan cirri khusus dengan masjid Agung Demak sebagai tempat berpusatnya para wali.
Bentuk bangunannya sangat unik. Dari luar, tampak masjid ini seperti umumnya masjid. Tak ada hal yang mencolok dari tampilan luarnya, bahkan terkesan sederhana tanpa akesories yang menunjukkan bahwa masjid tersebut memiliki sejarah panjang yang tidak terungkap hingga kini. Tampak depan, samping dan belakang, takubahnya masjid pada umumnya. Hanya papan nama yang menggunakan huruf jawa dan arab pegon yang memberi kesan artistic pada masjid tersebut. dan itu pun kecil.
Namun ketika memasuki pelataran masjid yang tidak terlalu luas, suasana berbeda akan ditemukan. Dari halaman depan, disambut pada pojokan bangunan sebuah rumah-rumahan dengan tinggi sekitar 50 sentimeter yang di bawahnya terdapat batu yang tidak terlalu besar dengan bagian tengahnya berlubang. Pada sekitar batu, terdapat dua bathok (tempuruk kelapa) yang tampak mengkilat sebagai tanda sering digunakan.
“Ada sumur di bawah batu ini. Air dari sumur tersebut adalah air berkah. Warga disini mempercayai tempat tersebut digunakan untuk menyucikan diri. Kami percaya bahwa air ini mendatangkan berkah dan menyembuhkan penyakit,” terang Sunoto, salah satu sesepuh di Dusun Traju, Desa Gentan, Kecamatan Kranggan.
Masuk ke dalam serambi masjid, sebuah bedug berukuran tidak terlalu besar menjadi penghias ruangan disamping sekat shaf shalat dari kain kelambu putih. Secara visual bedug tersebut tampak biasa, namun dibalik bentuknya yang biasa, bedug tersebut merupakan salah satu keistimewaan masjid ini. Bedug tersebut, dipercaya apabila dipukul, suaranya akan menggema hingga ke Masjid Agung Demak.
“Dari suara tersebutlah kemudian tetua disini mempercayai bahwa ada kaitannya dengan Masjid Demak yang akhirnya menganggap masjid ini merupakan peninggalan Walisongo,” tambahnya.
Keyakinan tersebut tidak tanpa alasan, sebab, masjid tersebut terbilang unik, tinggi bangunan dalam ruangan hanya sekitar 2 meter lebih sedikit. Pada ruang utama masjid, terdapat 16 pilar masjid dari kayu yang menandakan ciri bangunan klasik. Demikian juga dengan bentuk atap yang tidak menjulang tinggi.
“Kami menjaganya dengan baik, bahkan kami tidak berani untuk merenovasi bentuk bangunan tersebut. kami akan tetap menjaga agar terawatt dengan baik,” katanya.
Sejauh yang ia ketahui, pada 1859, pendiri Dusun Traju yang bernama Kyai Jenggot mendatangi dusun tersebut untuk menjadikan pemukiman. Pada saat itu, dusun ini merupakan hutan (alas) yang tidak berpenghuni. Semak belukar mewarnai hampir merata dimana-mana. Hingga sampai di tengah-tengah hutan semak tersebut, Kiai Jenggot dikejutkan dengan adanya sebuah masjid yang berdiri megah di tengah hutan-hutan yang tidak terjamah ini.
“Takmir masjid, masyarakat dan para sesepuh sudah sepakat agar masjid ini jangan difoto. Kami tidak membolehkan untuk mengambil gambar sembarang tanpa ada izin. Didalam masjid kami beri tulisan agar tidak mengambil gambar di lingkungan masjid dan di dalam masjid,” tandasnya.
Mengulas sisi sejarah masjid tersebut, Kabid Kebudayaan, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Temanggung, Didik Nuryanto, mengatakan, kepercayaan masyarakat bahwa masjid tersebut adalah peninggalan Walisongo adalah sumber utama sejarah. Namun, mengulas sejarah lebih jauh, berdasarkan prediksi dan kemungkinan peta sejarah yang ada, masjid tersebut pada awalnya merupakan bangunan candi sisa peninggalan Mataram Hindu.
“Membaca dari tanda-tanda sejarah dan peninggalan yang ada, disana ada tanda sejarah yang mengarah bahwa pernah ada candi milik Kerajaan Mataram Hindu. Dari candi tersebut kemudian dibangun bangunan masjid oleh Walisongo. Tetapi dasar kuat mengenai hal tersebut masih dilakukan penyelidikan sejarah. Tetapi kami yakin bahwa disana, pada masa mataram Hindu pernah beridiri sebuah candi,” tandasnya.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor: Abaz Zahrotien