Daerah

Madin Nurul Hasan Cabang Pesantren Zaha Genggong

Kamis, 18 Desember 2014 | 17:02 WIB

Probolinggo, NU Online
Berdirinya pesantren Nurul Hasan di Desa Opo-opo kecamatan Krejengan Probolinggo tidak terlepas dari peran KH Muzanni dan KH Ahmad Nuruddin. Keduanya terikat tali persaudaran karena masing-masing merupakan saudara sepupu.
<>
Sebelum pesantren berdiri, Kiai Muzanni mengajar di mushola dekat rumahnya. Karena banyak yang datang untuk nyantri, lantas didirikanlah Madrasah Diniyah (Madin) pada 1948. Madin ini terdaftar sebagai cabang dari pesantren Zainul Hasan Genggong desa Karangbong, kecamatan Pajarakan.

Kedua tokoh ini memiliki kemampuan berbeda. Kiai Ahmad Nuruddin seorang ahli di bidang pengobatan alias tabib. Sedangkan Kiai Muzanni seorang ahli ilmu Al-Quran dan ilmu agama lainnya. Keduanya saling bahu membahu mengajar di madin tersebut hingga Kiai Muzanni wafat pada 1987.

Di lain waktu, pada 1980 Kiai Ahmad Nuruddin merintis berdirinya pesantren. Ikhtiar itu bermula sejak ia menerima permintaan banyak tamu yang berniat menitipkan putra-putirinya untuk dididik.

Awalnya, Kiai Ahmad Nuruddin menggunakan sebuah rumah sebagai tempat menampung santri. “Ada 3 orang yang menjadi santri pertama, 2 putra dan 1 putri. Dari Kecamatan Tiris Probolinggo dan Lumajang,” tutur KH Kholilurrahman, pengasuh generasi ketiga pesantren ini yang merupakan cucu dari Kiai Ahmad Nuruddin, Kamis (18/12).

Bersamaan dengan pendirian pesantren, didirikan pula MI Raudhatul Muta’allimin. Lalu pada 1983, berdiri MTs. Karena jumlah santri semakin banyak, ruang kelas MI kemudian disekat untuk dijadikan asrama putra. “Setelah itu, kakek (Kiai Ahmad Nuruddin) mulai membangun tempat tidur bagi santri karena jumlahnya semakin banyak,” ujar Kiai Kholilurrahman.

Dalam perjalanannya, pesantren ini terus mengalami perkembangan signifikan. Pada 1993, kepemimpinan pesantren tersebut berpindah tangan ke KH Hasan Mustaman, menantu dari Kiai Ahmad Nuruddin.

Semasa Kiai Hasan Mustaman memimpin, keberadaan pesantren makin berkembang. Bahkan jumlah santrinya mencapai sekitar 400 orang. Di masa kepemimpinan Kiai Hasan Mustaman, pendirian lembaga pendidikan formal bertambah; MA pada 2007.

“Sebelum wafat pada 2009, Abah (Kiai Hasan Mustaman) menyerahkan tanggung-jawab pesantren ini kepada saya,” ujar alumni pesantren Sidogiri, Kraton, Pasuruan ini.

Pesantren ini terus berkembang, sarana prasarana dan tenaga pendidikan terus ditingkatkan. Seperti perpustakaan, laboratorium bahasa, kantin dan pusat keterampilan siswa. “Supaya santri mampu beradaptasi dengan dunia luar,” terangnya. (Syamsul Akbar/Alhafiz K)


Terkait