Daerah

KH Murtadho Kaliwungu Pejuang Hizbullah yang Terlupakan

Sel, 13 April 2021 | 01:30 WIB

KH Murtadho Kaliwungu Pejuang Hizbullah yang Terlupakan

Lukisan Kiai Murtadho Kaliwungu.

Semarang, NU Online
Kaliwungu merupakan kota santri pesisir pantai utara yang terletak di sebelah barat Kota Semarang. Daerah yang kaya dengan budaya dan kental dengan nuansa islami lantaran banyak berdiri pondok pesantren dan makan para wali. Sampai sekarang beberapa pondok dan majelis pengajian masih eksis mendidik para generasi muda yang akan meneruskan estafet kealiman para ulama dan kepemimpinan para pemimpin bangsa ini.


Satu malam menjelang bulan Ramadhan NU Online sowan ke rumah Gus Rifqil Muslim. Gus Rifqil ini adalah seorang pemuda yang dikenal aktif berdakwah melalui media sosial. Ia juga salah satu putra pengasuh pondok pesantren Manbaul Hikmah Mororejo, Kaliwungu.

 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kedatangan NU Online sengaja bersilaturahim, sekaligus untuk memintanya mengulas sepak terjang perjuangan dan pergerakan Kiai Murtadho pada masa penjajah. Gus Rifqil Muslim adalah salah satu cucu Kiai Murtadho.

 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Gus Rifqil dengan santai memulai ceritanya, bahwa Kiai Murtadho adalah salah satu santri dari kiai kampung bernama Kiai Kostam dari Mororejo Kaliwungu. Meskipun kediaman antara Kiai Murtadho dan Kiai Kostam berdekatan, hal itu tidak mengurangi rasa keingintahuan dan penasarannya dengan ilmu.

 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Setelah cukup lama ia mengaji kepada guru-gurunya, masyarakat Mororejo berbondong-bondong meminta untuk mengaji bersama Kiai Murtadho. Ia pun akhirnya mengabulkan keinginan masyarakat tersebut. Kemudian ia memutuskan dengan ngaji keliling dari majelis satu ke majelis lainya.


Kiai Murtadho merupakan sosok yang ulet, penyabar dan gigih menyebarkan nilai-nilai agama kepada masyarakat Mororejo. Layaknya kiai kampung pada umumnya ia istikamah menjaga jamaah shalat fardu bersama masyarakat di surau depan rumahnya. Selain kisah soal menyebarkan nilai-nilai moral kepada masyarakat, ada juga kisah inspiratif perjuangan Kiai Murtadho dalam menjaga negara ini.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Bergabung dengan Hizbullah

Gus Rifqil menceritakan, Kiai Murtadho adalah salah satu tentara Hizbullah yang turut memperjuangkan kemerdekaan Rebublik Indonesia ini. Menjadi bagian dari tentara Hizbullah bukanlah hal yang mudah, karena Kiai Musrtadho harus rela mengorbankan tenaga, waktu, pikiran dan fisiknya untuk memikirkan strategi dan menahan kekuatan lawan.


Pada masa itu kekuatan kolonial sangatlah kuat perlakuan represif para penjajah disimbolkan dengan adanya ruang penjara. Gus Rifqil menyebutkan bahwa Kiai Murtadho beberapa kali keluar masuk penjara. Sudah menjadi rahasia umum ketika masuk dalam penjara para kolonial akan menyiksa tawanan mereka hal itu juga dirasakan oleh Kiai Murtadho.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Beberapa aktivis pergerakan nasional juga mengalami hal serupa, baik dari kelompok intelektual, nasionalis dan para kiai. Namun semua perlakuan represif itu tidak membuatnya takut dan menyerah melainkan menambah kegigihanya untuk melawan kolonialisme di Indonesia.


"Kiai kampung yang dulunya termasuk pejuang Hizbullah dan diceritakan keluar masuk penjara. Di penjara itu sering kontak fisik karena kalau ditahan mesti dihajar sampai menjelang akhir hayatnya terganggu pendengarannya, penangkapan yang terakhir sampa rontok gigi-giginya," kata alumni Pesantren Sarang ini.

 

Kemudian ia melanjutkan cerita, bahwa simbahnya itu (Kiai Murtadho) tidak pernah mundur dari barisan perjuangan. Setelah keluar dari penjara bukan ketakutan yang menyelimutinya melainkan keberanian yang memuncak akhirnya beberapa kali ia bergerak kembali bersama pejuang dan kiai-kiai yang lain.

 

"Perjuangan ini berlangsung sampai usia senja. Ketika sudah sepuh pun Kiai Murtadho kembali masuk penjara dan terjadi perlakuan yang sadis. Beliau dihajar dan disiksa oleh tentara kolonial sehingga giginya tanggal dan indera pendengaranya terganggu," kata .


Pribadi yang ikhlas berjuang

Di sela perhelatan obrolan yang semakin seru, kami sempat membayangkan perjuangan ulama zaman dahulu yang begitu pelik dan akrab dengan kekerasan. Lantas bagaimana perjuangan dakwah di era sekarang? Gus Rifqil sesekali melemparkan humor untuk mencairkan suasana.


"Godaan dakwah zaman sekarang adalah dicaci netizen," kata pengurus LBM tersebut, kemudian disusul tawa bersama.

 

Kisah perjuangan ulama zaman dahulu, di samping mereka mengentaskan kebodohan umat, mereka juga menjaga kestabilan kondisi keamanan dan ekonomi masyarakatnya.


Tidak berhenti sampai sini, ketika Indonesia sudah merdeka, pemerintah memiliki inisiatif untuk memberi tunjangan kepada para pejuang yang tergabung dalam Hizbullah. Melalui pengurus tertentu pemerintah mendata untuk membuat sertifikat dan kartu keanggotaan Hizbullah beberapa pejuang daerah Kaliwungu, Kendal, Semarang. Hal ini membuat para pejuang antusias dan bergembira.

 

Tetapi, lain dengan Kiai Murtadho yang cenderung tidak mau mengurusi upaya pemerintah tersebut. Menurut Gus Rifqil hal itu karena Kiai Murtadho adalah sosok yang banyak ikhlasnya dan teguh pendirinya. Kiai Murtadho benar-benar ikhlas berjuang untuk membela bangsa dan negara oleh karena itu ia menolaknya. Padahal, seandainya masuk dalam data pemerintah akan mendapatkan tunjangan setiap bulan dari pemerintah sebagai timbal-balik negara kepada pejuang.


Putra Kiai Suyuthi itu mengatakan perjuangan seperti inilah yang membedakan antara orang zaman dahulu dan sekarang.  Orang zaman dahulu ketika berbuat baik cenderung ingin mastur (tertutup/tidak dikenal). Sedangkan orang sekarang kebanyakan ingin masyhur (terkenal) sedikit berbuat baik atau berjasa ia akan berupaya untuk dikenal banyak orang.

 

Peninggalan Kiai Murtadho

Di usia senjanya Kiai Murtadho menghabiskan waktunya untuk mengajar santri dan masyarakat setempat. Pada masa itu para santri belum ada yang menetap melainkan masih pulang-pergi atau disebut juga santri kalong. Biasanya waktu untuk mengaji santri kalong hanya di malam hari karena siangnya para santri berangkat bekerja ke sawah dan tambak ikan.

 

Melalui pernikahanya dengan Nyai Hj Aminah, Kiai Murtadho dikaruniai enam putra-putri. Masing-masing anaknya dikirim ke berbagai pondok pesantren di Jawa untuk menuntut ilmu yang lebih luas agar kemudian bisa melanjutkan perjuangan abahnya.


Salah satu peninggalan Kiai Murtadho adalah mushala yang sekarang menjadi bagian dari Pondok Pesantren Manba’ul Hikmah. Kegiatan sehari-hari mengajar ilmu agama di mushala itu, sampai tidak terasa dahaga ilmu warga Kaliwungu dan sekitarnya meningkat, hingga akhirnya banyak yang ingin mengaji padanya.

 

Setelah KH Suyuthi Murtadho, salah satu putranya pulang dari Pesantren Tegalrejo Magelang segera diamanati abahnya untuk membantu mengajar para santri-santri yang terus bertambah.


"Dulu peninggalan beliau hanya mushala di depan rumahnya. Dulu itu (mushala) panggung," terangnya.


Dua tahun menjelang Kiai Murtadho wafat KH Suyuthi diizinkan untuk membuka atau mendirikan pondok pesantren tepatnya pada tahun 1982 M. Berdirilah kemudian Pondok Pesantren Manba’ul Hikmah. Gus Rifqil menambahi bahwa mendirikan pondok pesantren ini karena santri mulai tambah banyak dan butuh tempat yang memadai sedangkan embrionya sudah dimulai sejak masanya Kiai Murtadho.


 

Dua tahun Pondok Pesantren Manba’ul Hikmah berdiri,Kiai Murtadho wafat tepatnya pada hari Selasa Kliwon 8 Mei 1984 M atau 7 Sya’ban 1404 H. Amalan dan riyadhah peninggalan Kiai Murtadho yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh KH Suyuthi Murtadho dan para santrinya adalah dzikir Dalailul Khairat dan Qiyamul Lail yang dilaksanakan di pertengahan malam dalam kegiatan mujahadah. 


"Jadi pondok ini itu dikenal selain seperti pondok-pondok lain juga riyadhahnya kenceng. Setiap malam itu jam 12 shalat Hajat, kemudian qiyamul lail dan lanjut Dalailan," pungkasnya.

 

Kontributor: Abdullah Faiz
Editor: Kendi Setiawan

ADVERTISEMENT BY ANYMIND