Daerah

Halal Bihalal, Wadah Sosialisasi Ajaran Agama

Senin, 3 Juni 2019 | 10:00 WIB

Jember, NU Online
Ketua PCNU Jember, Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin menegaskan bahwa halal bihalal yang biasa digelar oleh sebagian besar umat Islam Indonesia setelah lebaran merupakan tradisi yang mengadopsi model akulturasi budaya sebagaimana dilakukan oleh Walisongo. Menurutnya, halal bihalal bukanlah ajaran agama, namun tradisi atau budaya yang menjadi wadah sosialisasi dan penerapan ajaran agama.

“Di situ ada silaturahim, ada maaf-memaafkan, ada juga sedekah. Bukankah itu semua ajaran Islam yang memang sangat dianjurkan,” tukasnya saat menjadi nara sumber alam acara DIAGRA (dialog agama via udara) di masjid Jamik Al-Baitul Amin, Jember, Jawa Timur, Ahad (2/6).

Gus Aab, sapaan akrabnya, menambahkan sebagai sebuah tradisi tentu halal bihalal tidak steril dari ‘penyusupan’ budaya lokal yang boleh jadi bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam yang muncul di halal bihalal,  misalnya ada tarian (joget) dengan pakaian minim dan sebagainya, itu harus dikoreksi,  tanpa perlu menyematkan stigma buruk pada   halal bihalal.

“Yang jelek itu yang kita buang, yang bagus dan sesuai dengan ajaran agama dilanjutkan. Inilah prinsip NU dalam ber-muamalah,” jelasnya.

Contoh lain yang dikemukakan Gus Aab sebagai sebuah tradisi atau budaya adalah shalawatan. Katanya, shalawatan memang tidak diatur dalam Islam. Namun tradisi tersebut menjadi wadah diterapakannya ajaran Islam, sehingga laik dilestarikan dan dibumikan.

“Dalam shalawatan ada pembacaan shalawat, itu pasti. Juga ada doa, bahkan ada tausiyah. Itu semua adalah ajaran Islam,” terangnya.

Dosen IAIN Jember  itu memuji kreatifitas Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Dengan model akulturasi budaya, Walisongo bisa memanfaatkan budaya yang ada untuk sarana dakwah, sehingga Islam masuk ke Indonesia dengan aman dan damai.

“Karena Walisongo menyelipkan dakwah Islam tanpa membumi hanguskan tradisi atau budaya yang ada. Bahwa di budaya itu ada yang tidak sesuai dengan Islam, itu yang dibuang perlahan-lahan, atau diarahkan sesuai dengan tuntunan Islam. Model itulah yang diadopsi NU hingga NU diterima dimana-mana,” pungkasnya. (Aryudi AR).


Terkait