Semarang, NU Online
Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Tengah kembali menggelar pengajian bulanan kitab Mamba'us Sa'adah. Kegiatan dipusatkan di aula kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jateng, jalan Dr Cipto 180, Jumat lalu.
Pengajian ini merupakan kegiatan kedua yang digelar secara rutin setiap bulan oleh PW Fatayat NU Jateng.
"Edisi kali ini istimewa karena dihadiri oleh muallif kitab dan beberapa peserta dari kaum Adam,” kata Tazkiyyatul Mutmainnah, Senin (28/1).
Dengan hadirnya Kiai Faqih ini harapannya jamaah pengajian akan mengetahui lebih dalam tentang isi yang terkandung dalam kitab serta latar belakang terbitnya karya luar biasa ini. “Dan yang terpenting kita mendapatkan ijazah langsung dari muallif kitab," kata Ketua PW Fatayat NU Jateng ini saat sambutan.
Iin, sapaan akrabnya berharap pengajian tetap jalan meskipun hanya dihadiri dua atau tiga orang.
Harapan yang sama juga disampaikan KH Munif Abdul Muhit dari PWNU Jateng. Menurutnya, barokah tidak melihat kuantitas tetapi juga kualitas.
"Jangan berpikir kalau yang ngaji sedikit itu tidak berkah. Kitab ini menurut saya pantas dikaji karena dikarang oleh orang Indonesia sendiri sehingga mengerti betul budaya Indonesia,” ungkapnya. Oleh karena itu yang sudah datang diharapkan bisa istikamah karena manfaatnya besar untuk membangun keluarga yang bahagia berdasarkan relasi yang berkeadilan, lanjutnya.
KH Faqihuddin Abdul Kodir, penulis kitab Mamba'us Sa'adah sebelum memberikan pengantar membayangkan majlis ini ada di zaman sahabat yang dipimpin sayyidah Aisyah RA. Perempuan yang luar biasa yang menjadi rujukan ilmu. Sayyidah Nafisah gurunya imam Syafi'i juga seorang perempuan.
"Saya menimba ilmu juga dari beberapa perempuan termasuk di antaranya Bu Nyai Sinta Nuriyah dan Nyai Badriyah Fayumi. Dan tidak diragukan lagi ada beberapa perempuan hebat lainnya di sekitar kita. Sehingga saya bisa menuliskan beberapa pemikiran dalam kitab ini," ungkap Kiai Faqihuddin
Dirinya berharap kitab ini menjadi rujukan bagi laki-laki dan perempuan yang ingin hidup bahagia. “Dengan perspektif mubadalah atau ketersalinan ini, kita menafsirkan ayat dan hadis menjadi berimbang tidak ada yang dirugikan dan dinomorduakan," tandasnya. (Gigih/Ibnu Nawawi)