Jember, NU Online
Kecenderungan sebagian masyarakat yang mencukupkan buku sebagai guru nya dalam mencari ilmu (agama) menjadi sorotan KH Abd Rahman Al Jambuany saat menyampaikan tausiyah dalam Haflatul Imtihan TPQ-PAUD Al Hidayah Salafiyah Syafi’iyah, Desa Kalisat Utara, Kecamatan Kalisat, Jember, Jawa Timur, Ahad (7/4) malam.
Menurutnya, kehadiran guru sangat penting dalam proses balajar mengajar. Fungsinya adalah untuk membimbing dan “meluruskan” isi buku. “Guru adalah satu kaharusan bagi orang yang mencari ilmu,” ucapnya.
Pengasuh Pesantren Nurul Huda, Kalisat itu menyitir kitab Ta’limul Muta’allim karya Imam Az Zarnuji bahwa salah satu dari 6 syarat dalam mencari ilmu adalah guru. Guru adalah sebagai pembimbing dan penuntun bagi orang yang mencari ilmu agar tidak tersesat.
Dikatakan, dewasa ini sebagian kalangan yang merasa sudah pintar dan cerdas di bidang ilmu umum, lalu belajar agama secara otodidak. Mereka membeli buku-buku agama dan membacanya sampai tuntas tanpa ada pembimbing.
“Betul yang demikian itu baik karena niatnya belajar agama. Tapi tidak bagus kalau hanya mencukupkan pada buku. Sebab, terutama buku agama, itu cukup banyak hal-hal yang masih butuh penjelasan atau penafsiran. Karena tidak punya guru, lalu menafsirkan sendiri dan tennyata salah. Itu bahaya,” jelasnya.
Guru yang dimaksud tidak harus formal, namun bisa hanya sekedar tempat bertanya atau teman diskusi mengenai hal-hal yang masih ngambang dalam buku yang dibacanya. Sebab jika tidak ada pembimbing, maka pemahaman terhadap satu persoalan (agama) bisa berkembang secara liar.
“Minimal mereka bertanya kepada kiai, ustadz dan sebagainya yang paham soal agama. Tapi karena mereka sudah merasa pintar, merasa tidak perlu bertanya. Itu masalahnya,” tukasnya.
Selain harus ada guru, syarat mencari ilmu menurut Az-Zarnuji adalah biaya. Kendati saat ini ada skema bantuan untuk murid hingga mahasiswa, namun biaya tetap dibutuhkan Sebab, bantuan yang ada tidak bisa mengakomodasi semua tetek bengek kebutuhan belajar.
“Imam Malik pernah menjual salah satu kayu penopang atap rumahnya untuk biaya mencari ilmu. Itu dulu, sekarang apalagi,” urainya. (Aryudi Abdul Razaq)