Tegal, NU Online
Ketua Pengurus Cabang Lembaga Batsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kota Tegal, Jawa Tengah M Ridho berharap Kota Tegal meskipun wilayah kecil dan kota metropolis, jangan sampai kegiatan batsul masail ditiadakan alias vakum. "Justru saya berharap minimal dapat berjalan, syukur-syukur bisa semarak seperti di kabupaten-kabupaten lainnya," ujar Ridho kepada NU Online di gedung NU Kota Tegal, Sabtu (29/6).
Kegiatan Lembaga Batsul Masail (LBM) NU Kota Tegal, kini aktif kembali setelah bertahun tahun mengalami kevakuman. Kegiatan tersebut dilakukan setiap awal bulan, dan diikuti perwakilan MWCNU dan Ponpes se-Kota Tegal.
Sebetulnya, kata Ridho, yang juga aktif dalam kegiatan batsul masail Lirboyo, justru di kota metropolis seperti Kota Tegal inilah, banyak persoalan-persoalan yang perlu dikaji. "Apalagi dengan teknologi saat ini yang semakin maju. Salah satu contoh yang saat ini sedang kami bahas, yakni mengenai kesucian pakaian yang di cuci melalui jasa laundry," jelasnya.
Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Tegal Hasan MK yang menaungi lembaga batsul masail juga mensupport penuh kegiatan tersebut. "Seluruh sarana dan prasarananya biar kami dari PCNU yang menghandle," terangnya.
Katib Syuriyah PCNU Kota Tegal Kiai Yazid Muttaqien menilai, kumpul bareng sama para ustad muda dalam majelis bahsul masail itu asyik. Apalagi mendiskusikan masalah agama bukan berdasar akal sendiri, tapi berdasar pendapat para ulama yang terserak dalam berbagai kitab yang ditulis ratusan tahun lalu.
"Ke depan, dari wadah batsul masail inilah, para asatidz muda dari berbagai lulusan pesantren dapat ikut bergabung bersama dalam berjuang di tubuh NU demi kemaslahatan umat dan juga menjaga tradisi amaliyah aswaja," harapnya.
Bahtsul Masail merupakan sebuah forum diskusi antar ahli keilmuan Islam -utamanya fiqih- di lingkungan pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Di forum ini, berbagai macam persoalan keagamaan yang belum ada hukumnya, belum dibahas ulama terdahulu, dibahas secara mendalam.
Mengutip pendapat KH Sahal Mahfudh, Anam menyebutkan bahwa bahtsul masail tidak berbeda dengan istinbath (pengambilan hukum) atau ijtihad. Karena kedua istilah tersebut cenderung “wah” di lingkungan pesantren NU, maka kemudian digunakan istilah bahstul masail.
“Lingkungan NU Tidak berani memakai istilah itu (istinbath atau ijtihad), maka dibuatlah istilah bahtsul masail,’ jelasnya.
Menurut Anam, bahtsul masail memiliki lima keunikan atau kekhasan. Pertama, konsep bersama-sama (jama’i). Forum bahtsul masail yang diselenggarakan di lingkungan NU pasti melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin ilmu seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, dan lainnya. Di sini, sebuah persoalan dilihat dan ditinjau secara komprehensif.
Kedua, tidak mengutip langsung Al-Qur’an dan hadits. Anam mengatakan, adalah sesuatu yang berbahaya kalau merujuk langsung kepada Al-Qur’an. Mengapa? Al-Qur’an itu memiliki makna dan tafsiran yang banyak sekali. Kalau langsung mengutip Al-Qur’an, maka dikhawatirkan akan merujuk arti yang satu yaitu arti terjemahan.
Ketiga, mengutip pendapat ulama secara qouliyah. Di forum-forum bahtsul masail, para peserta seringkali merujuk kepada pendapat ulama terdahulu dalam menyikapi sebuah masalah. Biasanya mereka menarik pendapat terdahulu dengan persoalan yang sedang terjadi saat ini.
Keempat, selalu mengutip teks-teks berbahasa Arab. Bagi Anam, ini adalah sesuatu yang problematis karena yang dikutip dalam bahtsul masail hanya kitab-kitab yang berbahasa Arab. Sedangkan, banyak kiai dan ulama NU yang menulis dalam bahasa Indonesia dan pegon. Namun karena karya tersebut ditulis di luar bahasa Arab, maka tidak dikutip. Padahal isinya tidak kalah dengan yang berbahasa Arab, bahkan bisa saja lebih berisi.
Kelima, anggotanya tidak tetap. Para anggota yang bersidang di sebuah forum bahtsul masail tidak lah tetap. Biasanya mereka berganti-ganti. Namun yang pasti, anggota yang ikut bersidang dalam bahtsul masail memiliki kecakapan dalam bidang keilmuan Islam. (Wasdiun/Muiz)