Bandung, NU Online
Tri Wahyudi telat membayar uang kuliah di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Seperti peraturan sebelumnya, ia menduga tidak membayar kuliah berarti dicutikan pihak kampus otomatis tanpa perlu melakukan registrasi cuti terlebih dahulu.
<>
Ketika sudah memiliki biaya untuk membayar administrasi, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sastra Indonesia tersebut datang ke BAAK pada hari Senin, 27 Oktober 2014. Pada tanggal tersebut, tanpa dinyana, pihak kampus menolak pelayanan registrasinya karena ia sudah melewati batas waktu.
Anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tersebut akhirnya kembali datang pada hari selasa, 28 Oktober 2014. Ia diminta untuk membuat surat pernyataan klarifikasi terlambat bayar dan registrasi. Hari berikutnya, 29 Oktober 2014, ia ditelepon pihak kampus untuk menghadap bagian akademik. Ketika datang, ia diputus sepihak, dianggap mengundurkan diri (Drop Out).
Usut punya usut, Tri adalah korban dari kebijakan kampus perihal registrasi akademik yang mulai berlaku ketika dikeluarkannya surat edaran nomor 5754/UN 40.R1/DT/2014 tanggal 11 September 2014.
Surat tersebut ditujukan untuk para ketua departemen, program studi, dan mahasiswa di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia. Poin kedua dalam surat tersebut menyatakan bahwa mahasiswa yang tidak melakukan pembayaran pendidikan dan tidak mengajukan cuti akademik sesuai jadwal, diberi kesempatan untuk mengajukan cuti akademik dalam waktu paling lama 60 hari kerja setelah masa kontrak kuliah berakhir atau paling lambat s.d. tanggal 24 Oktober 2014. Mahasiswa yang tidak memenuhi ketentuan ini dinyatakan megundurkan diri.
Kasus ini menyita banyak perhatian mahasiswa. Pasalnya, kebijakan itu berubah dari kebijakan sebelumnya. Biasanya UPI mencutipaksakan mahasiswa yang tidak mampu membayar SPP tepat waktu.
Solidaritas untuk Tri datang dari sahabat-sahabatnya. Sekitar 120 mahasiswa dan mahasiswi UPI) melakukan unjuk rasa pada Senin, 24 November 2014. Unjuk rasa dilakukan dengan long march dari gedung Geugeut Winda menuju Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan ke fakultas lainnya sampai ke gedung Badan Administrasi Akademik.
Aksi tersebut menyayangkan kebijakan baru tidak dibarengi dengan publikasi yang maksimal. Pihak Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sendiri seolah telah angkat tangan menyikapi persoalan mahasiswanya. Pasalnya, sebelum kasus ini terjadi, pihak jurusan mengaku hanya mendapat secarik surat edaran yang tidak disertai lampiran nama-nama mahasiswa yang bermasalah secara administrasi.
Hal tersebut diakui Dadang Anshori, selaku ketua jurusan, tidak bisa melakukan apa-apa untuk menindaklanjuti surat edaran tersebut. Janji Sunaryo Kartadinata, rektor universitas, yang menyatakan tidak akan pernah mengeluarkan mahasiswa karena alasan biaya nyatanya hanya omong kosong. Biaya kuliah yang semakin mahal, kebijakan yang tidak memihak pada mahasiswa, pelayanan yang dilakukan sebatas formalitas semakin hari semakin meresahkan mahasiswa. (Ridwan/Alawi)