Balitbang Kemenag

Syiah di Indonesia, Seperti Apa?

Sabtu, 14 Oktober 2017 | 22:30 WIB

Syiah di Indonesia, Seperti Apa?

Kajian terkait Syiah oleh PCINU Pakistan (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Dalam lima belas tahun terakhir, ada banyak gelombang penolakan terhadap kegiatan keagamaan yang diadakan oleh komunitas Syiah di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, tidak sedikit penolakan tersebut berujung kekerasan terhadap kelompok Syiah. Diakui atau tidak, komunitas Syiah mengalami pertumbuhan di Indonesia dari tahun ke tahun. Inilah yang menyebabkan sebagian kelompok masyarakat bereaksi. Ada yang melakukan demo atau unjuk rasa, ada yang membangun opini agar kaum muslim tidak menyukai mazhab Syiah, dan ada juga yang melakukan kajian tentang bagaimana Syiah ini berkembang di Indonesia.

Tahun 2016, Balitbang Diklat Kemenag melakukan kajian dan penelitian soal Syiah di Indonesia. Penelitian dilakukan di 22 daerah. Diantara instrumen variabel yang dibahas dalam penelitian ini adalah terkait dengan perkembangan Syiah di Indonesia. 

Ada tiga gelombang perkembangan mazhab Syiah di Indonesia.
Pertama, perkembangan Syiah di Indonesia. Syiah masuk ke Indonesia dimulai sejak awal masuknya Islam di Nusantara, tepatnya di Aceh. Kesultanan Peurleak adalah kerajaan mazhab Syiah pada abad ke-8 M. Bahkan, Putri Sultan Peurleak terakhir di abad 13 dinikahkan dengan raja pertama Kerajaan Samudra Pasai. Dari sini, Syiah mulai berkembang ke seluruh Indonesia. 

Kedua, Revolusi Islam Iran. Perkembangan mazhab Syiah menemukan momentumnya ketika terjadi Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dimana pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini berhasil menggulingkan Rajadiraja Shah Mohammad Reza Pahlevi dan membangun Iran menjadi Republik Islam. Hal ini menarik simpati kalangan aktivis muda dan mahasiswa Muslim di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Setelah revolusi itu, buku-buku yang berkaitan dengan revolusi, sejarah Syiah, akidah Syiah, dan fikih mazhab Syiah membanjiri Indonesia dan dibaca dengan penuh minat. Di samping itu, komunitas Syiah juga mulai mendirikan lembaga-lembaga penerbitan, yayasan, lembaga pendidikan, kerja sama internasional. Dari sinilah mazhab Syiah semakin dikenal dan mulai banyak yang ikut ke mazhab Syiah secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Ketiga, berdirinya ormas keagamaan Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan ormas Ahlulbait Indonesia (ABI). Keduanya aktif melakukan sosialisasi ajaran-ajaran mazhab Syiah. Sehingga masyarakat muslim Indonesia lebih tahu tentang fikih Ja’fari, kemudian mengenalnya dan sebagiannya berkonversi menjadi Syiah.

Jumlah pengikut mazhab Syiah ini diperkirakan sekitar 200 ribu orang, tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Meski demikian, Badan Inteljen Negara (BIN) dan Mabes Polri menyatakan bahwa pengikut mazhab Syiah di Indonesia sekitar 6-7 juta, jauh dari yang diperkirakan semula. Namun, sampai saat ini belum ada jumlah yang valid soal pengikut mazhab Syiah ini.

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi pendorong dari perkembangan Syiah di Indonesia?

Setidaknya ada dua hal yang menjadi pendorong perkembangan Syiah di Indonesia sesuai dengan hasil penelitian tersebut. Pertama, Revolusi Islam Iran tahun 1979. Bagi seorang muslim muda aktivis—terutama dari HMI, PII, dan PMII, Revolusi Iran adalah sebuah peristiwa yang sangat heroik. Oleh karea itu, mereka melakukan kajian-kajian mazhab Syiah di perguruan tinggi dan sebagian berkonversi ke mazhab Syiah.

Kedua, tuduhan terhadap Syiah. Ada banyak tuduhan yang dialamatkan kepada komunitas Syiah seperti rukun iman dan rukun Islamnya berbeda, syahadatnya berbeda dengan umat Islam umumnya, orang Syiah tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai khalifah karena dianggap merebut hak khalifah Ali, kaum Syiah menghujat para sahabat besar, kaum Syiah mengkafirkan para Sahabat, membenci dan melaknat isteri Nabi Muhammad atau Aisyah.

Tuduhan lainnya menghalalkan nikah mut’ah sama dengan legalisasi pelacuran, taqiyah sama dengan kemunafikan, adanya tahrif 19 dalam Al-Qur’an, memiliki kitab suci Al-Qur’an mushaf Fatimah ayatnya 17.000 ayat, orang Syiah tidak melaksanakan salat Jumat, salatnya tiga waktu, wahyu mestinya turun kepada Ali karena Jibril berkhianat sehingga wahyu jatuh kepada Nabi, Syiah menuhankan Ali, Syiah adalah karya Abdullah bin Saba’, nikah mut’ah boleh dengan anak kecil, menyebutkan Husein lebih besar dari Tuhan.

Namun demikian, tuduhan-tuduhan itu tidak dapat dibuktikan dan komunitas tidak mengakui pemahamannya tidak seperti apa yang dituduhkan itu. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)


Terkait