Syariah

Ketentuan Zakat Peternakan Niaga

Sen, 30 Desember 2019 | 00:00 WIB

Ketentuan Zakat Peternakan Niaga

Pedoman penghitungan adalah harga hewan di hari ketika zakat tersebut wajib ditunaikan.

Peternakan merupakan satu dari 5 objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun jenis ternak yang tertuang di dalam bunyi eksplisit nash dan wajib dizakati ada tiga, yaitu unta, sapi dan kambing. Adapun syarat wajib zakat untuk peternakan ada 6, yaitu: (1) muzakkinya harus Islam, (2) merdeka, (3) hewan merupakan milik sempurna, (4) mencapai nishab (batas minimum wajib zakat), (5) sudah satu tahun dalam perawatan, dan 6) digembalakan.

 

 

Satu di antara 6 syarat ini, jika tidak terpenuhi, maka ketentuan zakatnya bisa berubah menjadi dua macam. Pertama, berubah statusnya menjadi peternakan niaga, sehingga zakatnya pun berubah menjadi zakat tijarah (zakat niaga/perdagangan), khususnya bila niat awal memang untuk tujuan diperdagangkan. Seperti kasus peternakan sapi, kambing, dan berbagai peternakan lainnya, dengan catatan bisa ditaksir harganya dengan qimah (nilai uang).

 

Dasar dari wajibnya zakat tijarah (perdagangan) pada kasus peternakan produktif ini, adalah:

 

عن الحسن البصريِّ رحمه الله قال: إذا حضر الشَّهرُ الذي وَقَّتَ الرَّجُلُ أن يؤدِّيَ فيه زكاته، أدَّى عن كلِّ مالٍ له، وكلِّ ما ابتاعَ مِنَ التِّجارة، وكلِّ دَينٍ إلَّا ما كان ضِمارًا لا يرجوه

 

Artinya: Dari al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata: “Apabila tiba bulan di mana seorang laki-laki telah ditetapkan wajibnya ia membayar zakat, maka ambil zakat itu dari setiap harta yang dimilikinya, dari setiap barang yang dibelinya untuk niaga, dan dari setiap piutang yang dimilikinya kecuali bila utang itu masiih samar bisanya untuk ditunaikan.” (Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, h. 892).

 

Adapun dasar cara menghitungnya sebagai ‘urudl al-tijarah (harta modal dagang) di akhir haul adalah:

 

إذا حلَّتْ عليك الزَّكاةُ؛ فانظر ما كان عندك مِن نقْدٍ أو عرَضٍ للبَيعِ، فقوِّمْه قيمةَ النَّقد، وما كان من دَينٍ في مَلاءةٍ فاحسِبْه، ثم اطرحْ منه ما كان عليك من دَينٍ، ثم زكِّ ما بَقِيَ

 

Artinya: “Bila tiba saat dirimu mengeluarkan zakat, maka telitilah harta yang ada di sisimu, antara lain harta naqdin (dirham dan dinar), harta dagang, lalu taksirlah dengan nilai naqd. Dan bila ada harta kekayaan yang masih terdapat dalam bentuk piutang, maka hitunglah. Kemudian potong darinya tanggungan utangmu, lalu tunaikan zakat untuk harta yang tersisa.” (ِAbu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 891).

 

Dalam riwayat yang lain, dari Ibrahim al-Nakhai rahimahullah, disebutkan:

 

يُقَوِّمُ الرَّجُلُ متاعَه إذا كان للتِّجارةِ، إذا حَلَّت فيه الزَّكاة، فيزكِّيه مع مالِه

 

Artinya: “Seorang muzakki dipersilahkan menaksir harta yang dimilikinya bilamana harta itu harta niaga. Kemudian setelah tiba waktunya mengeluarkan zakat, maka tunaikan ia dari harta tersebut.” (ِAbu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 893)

 

Dasar patokan harga yang dijadikan pedoman penghitungan adalah harga hewan di hari ketika zakat tersebut wajib ditunaikan. Sebuah atsar riwayat Jabir ibn Zaid rahimahullah:

 

قوِّمْه بنحوٍ مِن ثَمَنِه يومَ حلَّت فيه الزَّكاة، ثم أخرجْ زكاتَه

 

Artinya: “Tetapkan nilainya berdasar harga di hari zakat tersebut sudah masuk wajib ditunaikan. Lalu keluarkan zakatnya darinya!” (Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 890)

 

Persentase zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2.5% dari modal yang ada. Hal ini berdasar riwayat:

 

مقدارُ الزكاة الواجِبُ إخراجُه في عروض التِّجارة، هو رُبعُ العُشرِ؛ باتِّفاقِ المَذاهِبِ الفِقهيَّةِ الأربَعةِ

 

Artinya: “Kadar zakat yang wajib dikeluarkan dalam ‘urudl al-tijarah adalah seperempatnya sepersepuluh (2.5%) berdasar kesepakatan ulama empat mazhab.” (al-Aini, al-Binayah Syarhu al-Hidayah, Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt.: juz 3, h. 386).

 

Alhasil, bila ada pengusaha peternakan produktif berupa sapi (misalnya 5 ekor @20 juta rupiah) dengan harga saat tiba haul, maka zakat akan dapat dihitung sebagai berikut:

 

  • Harga total urudlu al-tijarah = 5 x 20 juta = 100 juta (sudah lebih dari nishab emas, yaitu sebesar 70.6 juta rupiah).
  • Besaran zakat yang wajib dikeluarkan = 2.5% x 100 juta = 2.5 juta rupiah.

 

Pendapat Kedua, adalah tidak wajib dizakati. Sudah pasti dalam hal ini juga berlaku adanya illat hukum, yaitu: 1) pemiliknya bukan muslim, dan 2) kurang dari satu nishab, 3) belum mencapai haul, 4) bukan milik sempurna, dan 5) pemiliknya adalah seorang budak, dan 6) tidak niat untuk diperdagangkan, melainkan dijual hanya bila diperlukan saja. Kelima illat (alasan) yang pertama disebut sebagai illat yang mu’tamad karena umumnya memang berlaku untuk zakat ternak sebagaimana tertuang dalam kitab. Sementara itu illat yang keenam, merupakan illat yang mu’tamad karena umum berlaku untuk zakat tijarah.

 

Jadi, tanpa keberadaan niat diperdagangkan (qashdu al-tijarah), maka status hewan ternak yang tidak digembalakan menjadikan ia bukan termasuk bagian dari ‘urudl al-tijarah (barang dagang). Sebab, dalam urudl al-tijarah, tersimpan makna istinma’ (produktif). Dan tidak diragukan lagi, bahwa isimna’ ini hanya ada dan melekat pada harta tijarah.

 

Selain harta tijarah, andaikan ada perkembangan, maka perkembangan itu adalah memang sudah menjadi watak asli dzat harta / hewan sendiri. Dan ini yang mengecualikan hewan tanpa digembalakan itu sebagai yang dikeluarkan dari wajibnya zakat. Alhasil, bila ada qashdu al-tijarah, maka hewan ternak tersebut kembali menjadi masuk wajib zakat disebabkan niat tijarah-nya itu.

 

Nah, bila pemilik peternakan di Indonesia juga dikenakan syarat keharusan digembalakan, maka menjadikan objek produktif (istinma’) hewan ternak , menjadi objek yang keluar dari wajibnya zakat. Padahal, umumnya, para pemilik peternakan produktif ini adalah para hartawan di wilayah peternakan itu berada.

 

Di Indonesia mungkin ada beberapa daerah yang memiliki padang stepa, seperti Nusa Tenggara Timur, dan daerah lainnya. Di sana memang terdapat hewan-hewan yang masuk kategori digembalakan. Hanya saja permasalahannya kemudian adalah jenis hewannya saja. Jika masuk kategori 3 hewan yang manshush, yaitu unta, kambing dan sapi, maka wajib dikeluarkan zakatnya, khususnya bila telah mencapai ketentuan nishab dan haul. Sementara di lain daerah, peternakan itu biasanya dirawat dalam bentuk dikandangkan, dan dengan niat diambil produksi dagingnya, telurnya, atau bulunya. Untuk itu, sangat layak bila mereka-mereka ini dikenakan zakat tijarah sebab qashdu al-tijarahnya tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

 

Ustadz Muhamamad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Kabupaten Gresik; dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur