Syariah

Ketentuan Zakat Emas, Perak, dan Perhiasan

Jum, 15 Oktober 2021 | 02:30 WIB

Ketentuan Zakat Emas, Perak, dan Perhiasan

zakat emas dan perak disamakan statusnya dengan zakat urudlut tijarah (zakat modal dagang).

Perhiasan secara bahasa bermakna sebagai barang yang dipergunakan untuk berhias. Ditilik dari segi bahasa ini, makna perhiasan mencakup pengertian yang luas, karena semua asesoris yang dimaksudkan untuk berhias atau menghias maka ia masuk dalam kategori perhiasan. Kita sering mendapati istilah perhiasan rumah, yang berarti bisa merujuk pada ukiran, jam dinding, pernik kaligrafi, lukisan, dan lain sebagainya. Tidak peduli bahan dasar hanya terdiri atas papan kayu, atau selembar pigura, asal fungsinya merupakan fungsi tambahan, maka ia sudah masuk dalam kategori perhiasan/asesoris tambahan.

 

Demikian juga, barang yang dipergunakan oleh manusia, asal ia bermakna untuk mempercantik diri maka segala asesoris yang dipakai itu masuk kategori perhiasan. Jam tangan, ponsel, cincin, anting-anting, gelang, kalung, binggel, asesoris tambahan pada baju, semuanya masuk kategori perhiasan.

 

Perhiasan sebagai Objek Zakat

Dalam diskusi fiqih, perhiasan ini umumnya terdiri atas empat jenis bahan, yaitu emas, perak, permata, atau mutiara. Ini semua ditangkap sebagai keumuman makna. Adapun pengertian secara khusus, perhiasan yang sering dijadikan objek garapan fiqih adalah perhiasan yang terbuat dari bahan emas dan perak, tidak peduli apakah hiasan itu dipakai atau tidak oleh manusia. Ia tetap disebut sebagai perhiasan, meskipun keberadaannya hanya sekadar dipajang di rumah.

 

Perhiasan yang terbuat dari emas, secara khusus haram dipakai oleh kaum laki-laki, akan tetapi boleh (halal) digunakan kaum hawa. Adapun untuk perhiasan perak, kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah bersepakat akan kebolehan penggunaannya oleh kaum adam. Lain halnya dengan kalangan Malikiyah, mereka juga membolehkan penggunaannya oleh kaum laki-laki, namun dibatasi, yaitu selagi harganya tidak mencapai 20 dirham. Untuk kaum perempuan, tidak ada batasan penggunaannya, selagi masih dinilai keumuman penggunaan dan tidak berlebih-lebihan.

 

Misalnya, mahkota yang terbuat dari emas, para ulama memperselisihkan penggunaannya, karena dianggap sudah berlebih-lebihan. Sebagian melarangnya, sebagian lainnya, seperti Syafiiyah, masih membolehkannya dengan catatan, mahkota itu adalah bagian umum dari asesoris yang digunakan kaum hawa. Bila tidak menjadi keumuman, kalangan ini menyatakan hukum ketidakbolehannya, selain karena alasan israf (berlebih-lebihan), juga karena alasan tasyabbuh (menyerupai) dengan perempuan raja-raja kuffar.

 

Ketentuan Zakat Perhiasan (Emas dan Perak)

Hukum asal ketentuan zakat pada barang berharga adalah dikenakan pada emas dan perak. Oleh karena itu, nishab zakat segala yang berhubungan dengan barang berharga ini distandarkan dengan nishab emas dan perak. Intisari dari ditetapkannya emas dan perak sebagai objek zakat adalah karena kedua jenis barang ini dapat disimpan, dan di kemudian hari bisa dijual. Maka dari alasan ini pula, zakat emas dan perak disamakan statusnya dengan zakat urudlut tijarah (zakat modal dagang).

 

Perhiasan yang terbuat dari bahan emas dan perak, adakalanya dibeli dengan tiga maksud, yaitu (1) hendak dijual kembali pada waktu yang akan datang, (2) dipergunakan sebagai perhiasan, dan (3) untuk maksud disimpan. Oleh karena itu pula, hukum yang berlaku juga dibedakan menjadi tiga.

 

Dilihat dari sisi penggunaannya, adakalanya perhiasan emas dan perak ini dipergunakan untuk tujuan berhias yang mubah, namun adakalanya dipergunakan untuk berhias yang diharamkan. Contoh untuk berhias yang mubah adalah bila perhiasan itu dipergunakan oleh perempuan. Perhiasan semacam ini disebut hulliyun mubah. Adapun contoh berhias yang diharamkan adalah bila perhiasan itu dipergunakan oleh laki-laki (kecuali cincin  perak), sebagai wadah untuk makan, minum, dan sejenisnya. Perhiasan yang demikian disebut huliyyun muharramun.

 

 

Zakat Perhiasan Mubah (Hulliyun Mubah)

Para ulama bersepakat bahwa untuk huliyyun mubah, tidak ada kewajiban zakat yang berlaku terhadapnya, kecuali kalangan Malikiyah yang memberi batasan, selagi jumlahnya tidak melebihi senilai 20 dirham.

 

Suatu perhiasan disebut huliyyun mubah manakala ia memenuhi ciri sebagai berikut, yaitu: (1) dipergunakan oleh umumnya kaum hawa, (2) dipakai, baik pada waktu acara khusus maupun dipakai sehari-hari, misalnya anting, cincin, kalung.

 

Adapun untuk gelang yang dipasang pada kaki (Jawa: binggel), kalangan Malikiyah mengategorikannya sebagai israf (berlebih-lebihan). Demikian juga dengan mahkota, semacam bando rambut, dan sejenisnya. Untuk sesuatu yang bersifat israf, maka dikelompokkan dalam perhiasan yang masuk kategori untuk maksud idkhar (disimpan) dan bukan termasuk bagian dari huliyyin mubah. Jika telah mencapai nishab emas atau perak, dan mencapai haul (satu tahun Hijriah), ia wajib dikeluarkan zakatnya. Namun, para ulama sepakat untuk huliyyun mubah, hukumnya tidak ada ketentuan zakat.

 

Zakat Perhiasan yang Diharamkan (Huliyyun Muharram)

Perhiasan emas dan perak yang muharram (diharamkan), misalnya seperti perhiasan emas yang dipergunakan oleh kaum laki-laki, atau wadah-wadah semacam piring dan gelas yang terbuat dari emas, seluruhnya masuk dalam kelompok idkhar, yang disimpan. Meskipun perhiasan itu digunakan sehari-hari, namun karena penggunaannya diharamkan, maka status penggunaannya tidak bisa menjadikannya menjadi huliyyun mubah (perhiasan yang mubah). Karena statusnya tidak bisa berubah menjadi mubah, maka hukumnya kembali kepada status idkhar-nya, atau tersimpannya.

 

Hal yang sama juga berlaku untuk wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak. Karena pemakiannya untuk makan dan minum adalah haram, maka hukumnya dikembalikan pada status kunuz atau idkhar-nya. Untuk itu wajib dizakati bila telah mencapai nishab dan haulnya.

 

Ukuran nishab dan haul perhiasan adalah mengikuti ketentuan nishab dan haulnya emas dan perak, yaitu ketika telah mencapai ukuran, sekitar 77,5 gram (emas) dan 543,35 gram (perak). Wallahu a’lam.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim


Â