Warta

WS Rendra Dapat Gelar Doktor Honoris Causa

NU Online  ·  Selasa, 4 Maret 2008 | 05:53 WIB

Yogyakarta, NU Online
Penyair kawakan WS Rendra hari ini, Selasa (4/3), menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam bidang kebudayaaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Rektor UGM Prof Dr Sudjarwadi mengatakan, keputusan UGM memberikan gelar Doktor HC dalam bidang kebudayaan kepada WS Rendra merupakan perwujudan penghargaan atas kiprah dan prestasi luar biasa promovendus.<>    

"Promovendus sekitar setengah abad tanpa mengenal lelah selalu mengartikulasikan aspirasi budaya melalui ungkapan sastra, puisi, esai, teater dan bentuk ungkapan seni lainnya," katanya.

Semuanya itu mampu membangkitkan kesadaran kita dalam bermasyarakat, dan dalam waktu bersamaan memberikan nuansa pengayaan unsur budaya bangsa.

WS Rendra merupakan penerima  Doktor HC ke-19 dari UGM. Rendra yang dilahirkan di Solo 7 Novermber 1935 pernah kuliah di Fakultas Sastra (kini FIB) UGM meski kemudian tidak diselesaikannya.

Ia kemudian melanjutkan pendidikan di American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat. Dalam dunia teater, Rendra mendirikan bengkel teater, sedangkan di dunia akting dia juga sempat membintangi beberapa film nasional

Sementara itu dalam pidatonya berjudul "Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu" Rendra mengatakan, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang ’sableng’ di Indonesia telah mendorong lahirnya ’kalatida’ dan ’kalabendu’.

"Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan, perbedaan benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil, tidak digubris," katanya. "Sedangkan kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan.".

Penyair berjuluk ’Burung Merak’ ini mengingatkan kembali isyarat dari penyair Ronggowarsito bahwa bangsa Indonesia harus bersikap waspada menghadapi kalatida dan kalabendu.

Rendra juga mengingatkan akan datangnya zaman kalasuba bersama ratu adil. Kalasuba adalah zaman stabilitas dan kemakmuran.

"Namun saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya kalasuba. Kalasuba pasti akan tiba karena dalam setiap ’chaos’ secara ’built in’ ada potensi untuk stabil dan teratur," kata dia.

Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan manusia  yang menjadi unsur penting untuk emansipasi kehidupan secara jasmani, rohani, sosial, intelektual dan budaya.

"Dalam sejarah kita mengenal kenyataan bahwa setelah ’chaos’ revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat dan saat yang lain," katanya.

Menurut Rendra, untuk mengantisipasi datangnya kalasuba juga harus ada usaha yang lain, tidak hanya sekedar sabar dan tawakal. "Karena kita tidak menghendaki kalasuba yang dikuasai diktator, tidak pula yang dikuasai kekuasaan asing," katanya.

Ia mengajak semua orang aktif mengembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan sehingga menjadi lebih baik sebagai daya hidup dan daya cipta bangsa.

"Situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya ratu adil, tetapi pada hukum yang adil, mandiri dan terkawal," katanya. (ant/sam)