Warta UU PENODAAN AGAMA

UU Penodaan Agama Dipertahankan

NU Online  ·  Senin, 19 April 2010 | 16:02 WIB

Jakarta, NU Online
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh gugatan atas uji materi UU Pencegahan Penodaan Agama karena dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu berarti UU PPA tetap dipertahankan dan berlaku hingga kini.

‘’Dalil-dalil pemohon baik dalam pengkajian formil dan materil tidak beralasan. Karena itu, MK mengadili untuk menolak gugatan para pemohon untuk seluruhnya,’’ kata Mahfud di sela pembacaan putusan, Senin, (19/4).
<>
Sikap majelis didukung delapan dari sembilan hakim MK yakni Mohammad Mahfud MD, anggota MK Achmad Sodiki, M Akil Mochtar, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva. Satu-satunya hakim dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) hanya Maria Farida Indrati.

Dalam menetapkan putusan mahkamah memperimbangkan bahwa Indonesia merupakan negaara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan pasal 29 ayat 1. Negara juga menjamin warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan yang dijamin UUD 1945. Hal itu berarti secara konstitusonal dan normatif, bangsa Indonesia adalah bangsa bertuhan dan bukan tidak beragama (atheis).

Majelis juga mempertimbangkan meski Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Hal itu berdasarkan hasil rapat perumusan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Rapat pleno badan ini memutuskan Indonesia sebagai negara berdasarkan Ketuhanan YME. Karena itu, majelis berpendapat prinsip negara hukum Indonesia tidak harus sama dengan prinsip hukum negara lain atau negara barat. Hal itu karena prinsip hukum negara ini harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945 yang menjadikan Ketuhanan YME sebagai asasnya.

Majelis berpendapat, dalil pemohon yang menyatakan negara tidak berhak melakukan intervensi terhadap kebebasan beragama tidak tepat. Alasannya, selain memberikan hak kebebasan beragama, negara juga berhak memberikan pengaturan dan pembatasan atas kebebasan beragama demi ketertiban dan kepentingan masyarakat umum. Hal ini didasarkan dalam pasal 28J ayat 2 UUD 1945.

Majelis juga menolak dalil pemohon yang menyatakan pembatasan sebagai bentuk diskriminasi. Berdasarkan pasal 28 J ayat 1 UUD 1945, pembatasan tidak selalu bisa diartikan sebagai diskriminasi sepanjang menjadi bentuk upaya perlindungan terhadap hak orang lain.

Mengenai dalil pemohon tentang UU PPA tidak relevan karena dibuat saat masa revolusi 1965, majelis menolak pendapat tersebut. Majelis berpendapat, UU PPA secara materiil masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka menjaga kerukunan antar umat beragama meski disusun di masa revolusi.

Majelis juga menolak dalil pemohon bahwa UU PPA mematikan keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia karena hanya menyebutkan enam agama saja. Majelis beralasan penulisan enam agama hanya sekadar penyebutan saja karena bersamaan dengan waktu pembuatan UU tersebut.

Selain itu, bagian penjelasan UU tersebut secara eksplisit tidak mempermasalahkan keberadaan agama dan kepercayaan selain keenam agama disebutkan. Karena itu, UU PPA tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena kebebasan beragama tetap terjamin. (ful)