Warta

Upaya Pemberantasan Terorisme harus di Luar "Criminal Justice System"

NU Online  Ā·  Kamis, 4 Maret 2010 | 08:16 WIB

Jakarta, NU Online
Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Henropriyono berpendapat upaya pemberantasan terorisme tidak bisa menggunakan pendekatan criminal justice system atau sistem peradilan pidana dengan mengenakan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku karena akan selalu ada orang-orang baru yang bersedia mengorbankan diri demi ideologi yang dipercayai.

Upaya pemberantasan terorisme harus didasarkan pada pendekatan pencegahan. Aparat intelejen dapat menangkap teroris sebelum mereka melakukan aksi teror, bukan untuk dihukum, tetapi untuk disadarkan dan untuk membongkar operasi organisasi tempat ia bernaung dan dibina.<>

Undang-undang yang sesuai untuk memayungi kegiatan ini adalah UU Intelejen Negara yang RUU-nya kini sedang dibahas di DPR sebagai inisiatif parlemen.

ā€œKebanyakan teroris yang telah sadar dari ā€˜cuci otak’ yang dideritanya siap untuk melakukan dialog filsafati dalam diri mereka masing-masing,ā€ katanya dalam seminar sehari Reformasi Pandangan NU terhadap Terorisme, di Gedung PBNU, Kamis, (04/03).

Sayangnya, masih banyak kalangan yang mempertanyakan RUU ini yang memungkinkan aparat intelejen melakukan penangkapan karena adanya ketakutan penyalahgunaan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Hendro menggambarkan terorisme laksana sebuah pohon yang akarnya merupakan ideologi fundamentalisme, yang kemudian dipupuk dengan konstelasi geo politik global dengan atmosfer benturan antar peradaban. Ranting, cabang dan batang berwujud dalam organisasi terorisme dan para pelaku merupakan daun-daun yang bisa dengan mudah gugur dan berganti dengan tunas baru.

ā€œSepanjang sejarah ternyata terorisme itu hanya daun. Panasnya terik matahari dapat membakar daun, sehingga pohon subur. Kedua, rasa ketidakadilan dalam kehidupan sehingga menjadi terorisme. Peradaban dan benturan ini menghidupi pohon. Akar dari terorisme ini adalah ideologi,ā€ tandasnya.

Jika perang yang dihadapi didefinisikan sebagai perang melawan penindasan orang kafir, dimana umat Islam selalu tertindas secara ekonomi, politik dan sosial, maka perang harus juga dilancarkan dengan berjihad di bidang ekonomi, politik dan sosial, bukan di arena militer yang mengorbankan umat manusia yang tak bersalah.

Terorisme saat ini banyak dikaitkan dengan kelompok wahabi yang memiliki pemahaman sempit dalam beragama yang saat ini banyak dikaitkan dengan kelompok agama di Saudi Arabia. Kelompok salafi di Saudi Arabia memiliki sikap keagamaan ang ganjil, yang berlebihan dalam memberi stigma kafit terhadap kelompok mana saja diluar mereka, yang dikenal dengan al ghuluw fi tafkir.

Tauhid dalam versi mereka, seperti yang diyakini Osama bin Laden, dipercaya dapat mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia. Dengan adanya satu pemahaman, maka akan terwujud satu kekhalifahan global.

Upaya pembentukan kekhalifahan global dalam konteks Islam-Arabisme yang menempatkan negara-negara Arab sebagai sentrum sedangkan negara non-Arab sebagai wilayah perifei dan harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan negara centrum jelas-jelas ditolak oleh NU.

NU memiliki konsep ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathoniyah, ukhuwah islamiyah dan ukhuwan nahdliyyah yang merupakan bentuk praksis dari nilai dasar Pancasila.

ā€œPara tokoh NU sepakat bahwa negara harus dibangun atas dasar nasionalisme tidak hanya untuk golongan tertentu saja misalnya Islam, Kristen dan lainnya, tapi negara mengayomi seluruh bangsa,ā€ paparnya.

Ketua PBNU Mustofa Zuhad Mughni menyatakan warga NU merupakan korban dari aksi kelompok garis keras. Salah satu tindakan yang mereka lakukan adalah membakar makam orang yang dihormati karena menganggap ziarah merupakan tindakan syirik. (mkf)