Ulama Berbeda Sikap Soal Tempat Ibadah Non Muslim
NU Online · Ahad, 5 September 2010 | 07:47 WIB
Setelah paparan narasumber selesai, moderator, Mukti Ali kemudian memandu forum untuk merumuskan permasalahan yang sudah dipaparkan narasumber, menjadi pertanyaan-pertanyaan (as’ilah) yang akan dibahas dan dicarikan jawabnya dari kitab-kitab kuning.
Perumusan as’ilah ini berlangsung hanya beberapa saat, dan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apa hukumnya membiarkan pendirian gereja yang sudah memenuhi prosedur, aturan izin pemerintah? (2) Apa hukumnya, atau boleh atau tidak menghalangi pembangunan gereja yang sudah dapat izin pendiriannya oleh pemerintah? (3) Apa batas-batas toleransi dalam kehidupan beragama, menurut Kitab Kuning?<>
Untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut, moderator membagi diskusi pembahasan menjadi beberapa sesi. (1) Sesi untuk mengemukakan jawaban hukum secara singkat. (2) Sesi untuk mengemukakan argumen yang berdasarkan pandangan ulama dalam kitab kuning (ta’bir). (3) Sesi mendiskusikan jawaban hukum dan ta’bir yang telah dikemukakan. (4) Sesi perumusan dan pengambilan kesimpulan.
Pada sesi pertama, moderator terlebih dahulu memberi pengarahan, bahwa silahkan satu persatu peserta memberi jawaban hukum; yang berkisar antara: (1) Hukumnya Khilaf (ada perbedaan antar ulama). (2) Hukumnya Halal. (3) Hukumnya Haram. (4) Hukumnya Tafshil (Terperinci), artinya bisa menjawabkan hukumnya, tetapi tergantung pada apa yang menjadi keadaan yang melingkupinya.
Mula-mula peserta diajak membahas pertanyaan tentang “hukum membiarkan pendirian gereja yang sudah memenluhi aturan, prosedur dan dapat izin dari pemerintah?”.
Ketika menjawab hukumnya, ada 1 orang peserta menjawab bahwa hukumnya haram, satu orang peserta menjawab bahwa hukumnya wajib. Beberapa orang peserta menjawab bahwa tafshil, hukumnya baru diketahui bila terperinci. Satu orang peserta yang memilih jawaban tafsil, ust. Hudhori menyatakan bahwa dalam hal ini banyak pandangan ulama bisa dikemukakan, “fihi nadhzâr” katanya.
Ada dua orang peserta menyatakan bahwa membiarkan pendirian gereja yang sudah mendapatkan izin pemerintah, hukumnya Halal Mutlak, alias halal tanpa syarat.
Kemudian pada sesi mengemukakan argumen kitab kuning (ta’bir), moderator meminta peserta untuk membahas terlebih dahulu, jawaban yang menyatakan bahwa hukum membiatkan pendirian gereja yang dapat izin pemerintah adalah wajib. Jawaban ini diungkapkan oleh ust. Sa’dullah dengan alasan bahwa sebagai umat Islam Indonesia, kita juga berkewajiban melindungi dan mengusahakan agar agama lain bisa beribadah dengan baik.
Jawaban Sa’dun ini banyak mendapat tantangan, "Karena dianggap bisa membaurkan akidah, masa umat Islam wajib ikut mendirikan atau mendukung pendirian gereja? “Bukankan ini berarti ridha terhadap agama lain, dan ridha terhadap agama selain Islam, itu artinya merusak akidah,” ungkap Faiq, seorang peserta alumni Lirboyo.
Peserta yang lain, ust. Hudhori juga tidak sependapat, dan menyatakan bahwa jawaban Sa’dun tersebut terlalu ekstrem, apalagi tidak dibarengi dengan landasan pandangan ulama (ta’bir) yang mendasarinya.
Mendapatkan reaksi penolakan, Sa’dun yang alumni Pascsarjana PTIQ dan pernah belajar di al-Azhar Mesir ini mengemukakan ta’bir dengan menyebut kan ayat al-Hajj ayat 40, yang berbunyi:
“Laû lâ daf’ullahu al-nâsa ba’dhuhum bi ba’dhin lahuddimat shawâmi’un wa biya’un wa shalawâtun wa masâjidun yudzkaru fîhâsmullahu katsîran”¸ artinya: “Jika Allah tidak mencegah manusia, sebagian atas yang lainnya, maka akan hancurlah, gereja-gereja, tempat-tempat ibadah orang yahudi, sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Ta’bir yang dikemukakan Sa’dun ini pun disanggah oleh Ali Mursyid, dengan mengatakan bahwa: “Kalau melihat terjemahannya memang seperti itu, tetapi al-Qur’an dan terjemahan saja tidak cukup jadi landasan, kita harus meruju tafsirnya”.
Kemudian Ali Mursyid mencoba mengebolasi ayat tersebut dari berbagai pandangan penafsir yang ada.
“Dalam banyak kitab tafsir, baik dari ekstrem kanan, seperti tafsir al-Maraghi sampai tafsir yang paling rasional, Mafatih al-Ghaib karya al-Razi mengartikan “Laû lâ daf’ullah al-nâsa ....dst” itu artinya bahwa orang mukmin (muslim) sebagai hamba Allah memang berkewajiban menjaga utuhnya bangunan -bangunan peribadatan itu, baik masjid, gereja, wihara maupun sinagog.
Tetapi sayangnya para penafsir juga menyaratkan adanya perlindungan tersebut. Dalam tafsir al-Maraghi, tafsir ektrem kanan, disebutkan bahwa justru ayat itu menunjukkan adanya kewajiban jihad bagi muslim untuk memerangi orang-orang kafir, karena kalau orang mukmin tidak berkuasa atas orang kafir maka tidak akan perlindungan bagi tempat-tempat ibadah tersebut.
Dalam tafsir Jami al-Ahkam karya al-Qurthubi, dinyatakan bahwa tafsir dari ayat “Laû lâ daf’ullahu...dst” adalah bahwa jika tidak ada perintah kepada muslim untuk memerangi musuh maka tidak ada perlindungan dari muslim terhadap tempat-tempatv ibadah itu, yang menyebabkannya hancur”.
Bahkan tafsir yang rasional sekalipun, Mafatih al-Ghaib karya al-Râzi, menyatakan, boleh saja gereja dan tempat ibadah non muslim dibangun dengan syarat tidak lebih tinggi, tidak lebih indah dan tidak lebih bagus daripada tempat peribadatan muslim. Sebagian besar tafsir menafsiri ayat itu dengan pandangan demikian”
Lebih jauh Mursyid menjelaskan: “Yang tepat sesungguhnya melandaskan pada QS. Al-An’âm ayat 108 yang berbunyi “Wa lâ tasubbû al-ladzîna yad’ûna min dûnillahi fa yasubbûllaha ‘adwan bighairi ‘ilm” artinya: “Janganlah kalian mencaci maki mereka yang beribadah kepada selain Allah, karena niscaya mereka akan mencaci maki Allah dengan cara permusuhan dan tanpa ilmu”.
Pada ayat ini, sebagian tafsir, baik dari yang kanan, seperti al-Amaraghi, maupun yang tengah-tengah, seperti tafsir al-Thabari, tafsir al-Kazin dan lainnya, sampai tafsir yang rasional pun seperti tafsir Mafatih al-Ghaib, menafsirinya sebagai anjuran untuk tidak memaki penganut agama lain, karena khawatir timbul reaksi balik dari yang mereka yang dicaci.
Tafsir al-Maraghi (tafsir ekstrem), dalam menafsirkan ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa “fi al-basyar allâ yatafaqû ‘ala dinin likhtilâf isti’dâdihim wa tafâwutihim fî darajâtil fahmi wal fikri, anna wadhifatur rasûlu an yakuna muballighîn lâ musthîrîn, wa hadîn lâ jabbarîn...fa innallaha huwa al-ladzîna manahahun hadzihil hurriyah wa lam yujbiruhum ‘ala al-imân, nahâ ‘an al-mu’minîn hunâ ‘an subbi aliha al-musyrikîn”
Artinya, "Manusia tidak akan bersepakat dalam soal agama karena perbedaan pandangan, pkirian mereka. Tugas seorangg Rasul hanya menyampiakan bukan memaksakan, hanya menjadi petunjuk bukan pemaksa. Maka Allah swt yang telag memberi kebebasan dan tidak memaksa mereka – dengan ayat di atas – mencegah orang-orang beriman agar tidak mencaci Tuhan agama lain”.
Sementara itu al-Qurthubi menyatakan dalam tafsirnya Jami al-Ahkam: “Lâ yahillu li muslim an yasubba sulbânahum, wa lâ dînahum wa lâ kanâisahum” artinya "Tidak dibolehkan (diharamkan) bagi umat Islam, mencaci Salib-Salib orang non muslim, tidak pula diperbolehkan menghina agama mereka dan tidak pula diperbolehkan mencaci gereja-gereja mereka”. Di sini jelas sekali, kalau mencaci saja tidak boleh, artinya mengganggu atau menghalangi juga tidak boleh”
“Atas dasar itu semua, maka sesungguhnya membiarkan pendiiriann gereja yang sudah dapat izin pemerintah itu adalah halal,” kata Ali Mursyid.
Pandangan ini disepakati oleh Faiq. Faiq dalam hal ini mengemukakan ta’bir dari kitab fiqh Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj dan kitab Fiqh Abu Zahroh Pun demikian.
Pandangan Ali dan Faiq tersebut ditentang oleh dua peserta vokal lainnya. Kang Sa’dun menyangkal dengan menyatakan bahwa kalau al-Quthubi mengharamkan mencaci dan mengganggu Tuhan dan tempat peribadatan agama lain, artinya mendukung pendirian gereja yang sudah dapat izin pemerintah hukumnya wajib, dan bukan hanya halal mutlak. Sementara itu ust. Hudhori menyangkal Ali Mursyid dan Faiq dengan alasan bahwa yang dikemukakan itu hanya tafsir, bahkan mungkin tafsir atas tafsir, belum bisa dijadikan pegangan keputusan hukum fiqh.
Menjawab itu, Ali Mursyid kemudian mengemukakan ta’bir dari Kitab Majmû’ syarah kitab Muhadzab, yang ditulis oleh al-Syirazi yang menyatakan: “Hakadzâ, yadfa’u ‘an mawâdhi’muta’abadatihim bi al-muslimîn wa in kâna yabghaduhâ, wa huwa –subhanahû- yadfa’u ‘an mutaba’adâtihim al-latî aqqarû ‘alaihâ syar’an wa qadran, fa huwa yuhibbu al-daf’a ‘anhâ wa in kâna yabghadhuhâ – kamâ yuhibbu al-daf’a ‘an arbâbihâ, wa in kâna yabghadhahum”.
Artinya, "Jadi Allah tetap mempertahankan peribadatan orang-orang non-Muslim dengan memerintahkan kaum muslimin untuk mempertankannya, meski Allah tidak menyukai tempat-tempat peribadatan non-muslim tersebut"
Inilah jawaban fiqh dan bukan hanya tafsir. Dan untuk Kang Sa’dun, soalnya adalah dalam kitab kuning tidak ada pandangan yang sharih (jelas dan tegas) mewajibkan umat Islam untuk mempertahankan tempat ibadah non-muslim, maksimal hanya dikatakan “disukai” saja.”(bersambung)
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
3
Rais Aam PBNU: Para Ulama Tarekat di NU Ada di JATMAN
4
Gencatan Senjata Israel-Hamas
5
Gus Yahya: NU Berpegang dengan Dua Tradisi Tarekat dan Syariat
6
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
Terkini
Lihat Semua