Warta PENGAJIAN TASAWWUF NU ONLINE-ICIS (1)

Tasawwuf, Ilmu Hati

NU Online  ·  Jumat, 15 Mei 2009 | 04:54 WIB

Jakarta, NU Online
Mulai Kamis, 14 Mei 2009, NU Online bekerjasama dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) menggelar pengajian tasawwuf rutin, dengan mengkali kitab Al Hikam karya Ibnu Athoillah yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat sebagai salah satu kitab rujukan untuk belajar ilmu tasawwuf. Pengajian ini diasuh oleh KH Said Agil Siradj dan dimulai pukul 16.00, dengan audiens terbuka untuk umum.

Kang Said menuturkan kitab Hikam terkenal karena simpel, puitis, mengandung arti yang dalam. Dengan kandungan arti penuh nilai-nilai spiritual disertai bahasa bagus. Menurutnya, kitab ini bukan tuntutan belajar tasawwuf, tetapi sekedar renungan yang mengandung arti sufistik dan filosofis,<>

Ia menjelaskan, tasawwuf adalah ilmu yang bicara tentang hati, tidak ada kaitannya dengan ilmu duniawi. Para pelaku tasawwuf bisa memiliki profesi apa saja, bisa seorang pedagang, politisi, ilmuwan dan lainnya. Tasawwuf membantu menata hati setiap manusia untuk menuju kepada Allah.

Ilmu tasawwuf pertama kali didefinisikan oleh Ali bin Musa al Kadhim, imam Syiah yang ke delapan. Definisi yang dikemukakan, tasawwuf adalah mencari hakikat dari kepalsuan, Contohnya, belum tentu wanita yang memakai jilbab lebih baik dari yang tidak memakai jika hatinya ternyata lebih baik dari yang tidak memai jilbab.

Selanjutnya, Dzunnun al Misri mengemukakan definisi lain tasawwuf, yaitu orang yang mementingkan kebenaran mengalahkan yang lainnya. Jika ia mampu melakukan hal ini, maka Allah akan mementingkan dirinya mengalahkan yang lain. Tasawwuf terus mengalami perkembangan dengan tokoh-tokohnya seperti Junaidi al Bagdadi, al Ghozali, al Hallaj dan lainnya.

Butir pertama al Hikam mengatakan, “Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan tatkala gagal”

Kang Said menjelaskan, banyak orang merasa telah melakukan banyak amalan kepada Allah dan mengharapkan amalnya tersebut bisa membantunya menghadapi masalah. Dari sudut pandang tasawwuf, seseorang tidak boleh mengandalkan amalan yang dilakukan. Amalan yang dilakukan seharusnya diniatkan untuk melakukan perintah Allah, bukan menjadi andalan dihadapan Allah karena amalan tidak bisa menjamin untuk selamat. Mengandalkan amal berarti mengandalkan selain Allah.

Dalam mensikapi peran amal, terdapat beragam pendapat, kaum muktazilah mengatakan, barang siapa beramal sholeh, pasti masuk surga. Amal bukan takdir tuhan, karena perbuatan baik dan jelek bukan dari Allah. Sebaliknya, golongan ahlusunnah wal jamaah berpendapat amal tidak lepas dari koridor Allah karena merupakan bagian takdir Allah menentukan. Manusia melakukan sebuah proses dari perbuatan yang diniatkan, tetapi apakah terlaksana atau tidak, itu bagian dari takdir.

Golongan sufi berpendapat lain dari pandangan muktazilah dan ahlusunnah. Orang baik atau buruk merupakan desain dan perwujudan dari sifat-sifat Allah. Salah satu contoh adalah Abu Bakar menunjukkan sifat murah hati, santun dan kelembutan Allah. Kepribadian Abu Jahal juga perwujudan dari sifat Allah seperti sifat maha kuasa dan keteguhan–Nya. Seluruh yang berwujud di dunia ini merupakan manifestasi sifat-sifat yang dimiliki Allah.

Pandangan ini harus dibedakan dengan faham jabariyah atau totalitas takdir Allah karena dalam konsep ini, ada fihak yang memaksa dan ada fihak yang dipaksa. Pandangan sufi menggambarkan manifestasi tajalli dari sifat Allah, ada sifat lemah lembut, ada sifat keras dan maha kuasa dari Allah yang semuanya tercermin dalam kehidupan. Dunia merupakan manifestasi dari asma’nya.

Manusia sendiri dari waktu ke waktu juga mengalami perubahan karakter, satu saat penuh kelembutan kepada keluarga dan orang lain, satu sisi bersaing dengan ketat dalam mencapai tujuannya.

Timbul sebuah pertanyaa, tidak lulus ujian itu apakah bagian dari takdir Allah, jawabannya adalah Ya, tetapi hal ini tidak boleh digunakan sebagai alasan pembenaran kegagalan. Usaha tetap diperlukan dengan sekuat tenaga, tetapi tidak boleh menargetkan karena takdir milik Allah. Disinilah pentingnya bersikap optimis dan berharap kepada Allah.

Orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan arifien atau bijaksana tidak lagi memandang sebuah proses sebab akibat seperti makan menjadi kenyang, minum, maka haus menjadi hilang. Ini hanya sebuah tradisi yang sudah berjalan dan dilihat. Namun seorang sufi berkeyakinan, semuanya adalah kehendak Allah, bisa saja api tidak membakar, seperti yang dialami oleh Ibrahim.

Kaum Mu’tazilah berpendapat, hukum sebab akibat benar adanya, tetapi dengan keyakinan ini semuanya karena takdir Allah. Menurut sufi, semuanya harus diserahkan kepada Allah.

Tentang Pujian

Manusia tidak perlu berbangga jika di puji dan bersedih jika dicela oleh orang lain karena semuanya manusia biasa. Pujian hanyalah milik Allah dan jika manusia dipuji, ini merupakan ujian yang dihadapinya. Ini berbeda dengan Rasulullah yang telah dipuji Allah dalam Al Qur’an.

Lalu, bagaimana agar manusia tetap ingat kepada Allah ditengah fluktuasi suasana hati dari baik menjadi buruk dalam kehidupan sehari-harinya, kaum sufi mensiasatinya dengan menyisihkan sebagian ruang didalam dirinya untuk Allah, selain untuk keluarga atau yang lainnya. Makanya, sholat diwajibkan agar dalam periode sehari tersebut, manusia kembali ke jalan Allah. (mkf)