Warta

Tak Ada Capres-Cawapres yang Berkampanye Edukatif

NU Online  ·  Jumat, 25 Juni 2004 | 19:10 WIB

Jakarta, NU Online
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Arbi Sanit dan pengamat politik LIPI, Syamsuddin Harris berpendapat tak ada kampanye yang dilakukan para capres-cawapres bersifat edukatif, benar-benar mendidik masyarakat di bidang politik.

"Saya mungkin akan menggunakan hak pilih terhadap capres yang tingkat kejelekannya lebih sedikit. Itu mudah-mudahan ada. Tetapi soal kampanye, pada hakekatnya yang dilakukan kelima pasangan capres-cawapres sama saja. Tidak ada yang benar-benar bisa disebut pendidikan politik untuk masyarakat," kata Syamsuddin Harris dalam acara "Dialektika demokrasi" di Press Room DPR/MPR, Jakarta, Jumat.

<>

Arbi Sanit mengatakan tetap memilih golput dalam pilpres 5 Juli karena menurut dia dari kelima capres-cawapres tidak ada yang pantas dipilih.

"Saya ingin mendidik para pemimpin agar mereka menghormati hak pilih saya. Karena politik adalah soal moral, etika dan kepercayaan kepada orang. Bagi saya, dari kelima capres tidak ada satupun yang bisa diserahi kedaulatan kita."

Calon pemimpin, menurut dia, tak lepas dari soal kemampuan/kompetensi sebagai politisi, negarawan dan manajer negara. "Jadi politisi saja yang gampang mereka tak becus, tak bisa meningkatkan perolehan suara, tak mampu membuat koalisi dan membesarkan partai, apalagi mengurus negara."

Calon pemimpin nasional, menurut Arbi Sanit harus bisa melihat perkembangan negara 30 tahun ke depan. Tapi yang ditampilkan dalam kampanye sekarang, semua bertolak pada masa lalu, meningkatkan kesejahteraan, ekonomi, dan lainnya namun tidak dijelaskan bagaimana mencapainya.

Demikian pula soal leadership, dinilai dangkal. Mestinya mereka mampu mengajak rakyat untuk bekerja bersama-sama menghadapi masalah bersama. Tapi leadership yang ada pada capres-cawapres sekarang sifatnya kuno, bertumpu pada karismatik, primordial, dan keagamaan.

Menurut padangan Syamsuddin Harris, UUD 1945 yang ada sekarang perlu diamandemen lagi. UUD 1945 hasil amandemen sekarang jangan dianggap sudah final, tegasnya.(mkf/an)