Tayangan sinetron yang diklaim sebagai sinetron Islami yang banyak menghiasi stasiun televisi nasional Indonesia dinilai kehilangan nilai spiritualitas. Tayangan yang semestinya bisa mendukung kedalaman beragama sehingga menyentuh dimensi ruhani umat itu malah diarahkan untuk mendangkalkan ajaran Islam.
Demikian dikatakan Hesti Prabowo terkait maraknya siteron Islami selama bulan Ramadhan 1429 H. Pendapat serupa juga juga dilontarkan oleh Konfrensi tentang Representasi Islam yang diselenggarakan Universitas Manchester di Inggris menyoroti penayangan sinetron yang tidak representatif bagi komunitas Islam.<>
Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Islam (Lesbumi) yang akrab dipanggil Wowok itu menyatakan, pendangkalan pemahaman keagamaan yang dilakukan secara terus-menerus itu akan membawa ketidakdewasaan masyarakat, yang pada akhirnya tidak membawa pada kemajuan kebudayaan.
“Rentetannya jadi semakin panjang, apalagi sering dikatakan oleh para ulama bahwa pemahaman agama yang dangkal itu cenderung akan melahirkan fanatisme yang ekstrem di satu sisi dan di sisi yang lain akan melahirkan pragmatisme yang ekstrem, sehingga agama boleh digunakan apa saja. Agama dikomersialisasi seperti komoditi yang lain,” kata Wowok kepada NU Online di Jakarta, Selasa (23/9).
Menurut Wowok, tugas kesenian dan terutama sinetron tidaklah menampilkan yang serba formal seperti menceramahi orang dengan serentetan dalil. Kemudian ceramah dan dalil itu bisa mengubah perangai seseorang dengan seketika.
Cerita semacam itu, katanya, tidak hanya menyederhanakan bahkan mendangkalkan agama, tetapi juga menghina akal sehat, karena tidak mengajak pemirsa untuk berpikir logis dan menelusuri dunia pencarian kebenaran melalui liku-liku dan berbagai rintangan.
Itulah sebabnya Wowok mengajak kalanagan penulis skenario, sutradara dan produsen untuk bekerja lebih serius, dan tidak sekadar asal-asalan. Dikatakannya, masyarakat butuh tontonan yang bermutu sehingga bisa mengisi dan memperkaya kerohanian mereka.
“Pengkayaan rohani ini tidak selalu harus berbentuk agama. Tetapi dengan mengajak seseeorang dengan realitas kehidupan dengan segala persoalannya, orang akan diasah rasa dan rohaninya,” katanya.
Ditambahkan, strategi para wali dan ulama terdahulu tidak mengislamkan orang dengan ceramah-ceramah, tetapi melaui pergumulan mereka dengan kehidupan masyarakat. Dari situ rasa keislaman seperti kesabaran, kesetiaan, keberanian ditanamkan pada masyarakat.
“Film kita di masa lalu masih menjalankan strategi itu, toh berhasil menjadi film besar dan bermutu yang tetap diakui hingga saaat ini. Ini menunjukan bahwa membuat film bermutu akan tetap mendapatkan pasar, bahkan pasarnya luas dan abadi. Dengan demikian seni atau sinetron tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga berperan sebagai sarana membangun peradaban," katanya. (mdz)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menguatkan Sisi Kemanusiaan di Bulan Muharram
2
Khutbah Jumat: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa bulan Muharram
3
Inalillahi, Tokoh NU, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia KH Imam Aziz Wafat
4
Khutbah Jumat: Muharram, Momentum Memperkuat Persaudaraan Sesama Muslim
5
Khutbah Jumat: Jangan Apatis! Tanggung Jawab Sosial Adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Berani Keluar Dari Zona Nyaman
Terkini
Lihat Semua