Warta

Seni dan Porno Masih Menjadi Perdebatan

NU Online  ·  Senin, 15 Desember 2003 | 15:59 WIB

Jakarta, NU.Online
Batasan antara seni dan pornografi masih menjadi perdebatan dalam pembasahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi di Komisi VI DPR.  Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapar Umum (RDPU), Komisi VI DPR dengan pimpinan media “esek-esek” dan pekerja seni di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/12).

Dalam kesempatan itu, fotografer senior Darwis Triadi mengatakan, UU Anti Pornografi memang diperlukan untuk melindungi anak-anak dari gambar yang tak sesuai dengan etika dan susila, namun jangan sampai UU itu membunuh kreativitas para pekerja seni profesional."Jangan sampai UU Anti Pornografi itu membunuh kreativitas para fotografer profesional," tuturnya.

<>

Lebih lanjut Darwis menjelaskan, dalam dunia fotografi, beda antara seni dan pornografi sangat tipis.  Perbedaan tersebut terletak di hati nurani sang fotografer. “Jadi dalam dunia fotografi tergantung bagaimana si Fotografer memahami antara seni dan pornografi,” papar Darwis.
Menurutnya, terkadang ada fotografer yang sengaja membuat foto cabul, tapi berlindung di balik argumen bahwa foto yang diciptakannya adalah sebuah karya seni. Darwis yang kondang dengan foto-foto seninya mengenai selibriti itu juga menyayangkan sikap masyarakat yang ambigu.
"Kalau foto perempuan telanjang dibilang porno, tapi patung peremuan telanjang atau lukisan perempuan telanjang dibilang seni," tambahnya.

Dalam forum itu, hadir juga Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Titie Said. Ia sangat mendukung upaya DPR dan pemerintah menelorkan UU Anti Pornografi. Ia mendesak DPR untuk secara tegas mendefinisikan pornografi dalam UU Antipornografi. "Ketidakjelasan kriteria mengenai pornografi bisa membuka peluang adanya metamorfosa pornografi," katanya.

Sementara itu Hinca Panjaitan, anggota Dewan Pers yang membidangi masalah hukum, mengatakan jurnalisme tidak meliputi masalah pornografi. "Jika ada penerbitan yang memuat gambar porno, itu bukan pers lagi," tegasnya.

Menurut dia, persoalan pers tidak berhubungan dengan pornografi. Oleh sebab itu, bukan pornografinya yang dipersoalkan tapi soal distribusinya. Ditambahkan, majalah-majalah porno yang ada di Indonesia umumnya diterbitkan oleh penerbit liar yang tidak beralamat dan tidak mencantumkan penanggung jawab. "Jadi tugas polisi untuk melacaknya," katanya.    

Penerbitan seperti itu juga melanggar aturan mengenai aturan penerbitan yang mengharuskan punya alamat yang jelas.  Pansus RUU Anti Pornografi menurut rencana akan mengundang sebanyak mungkin kalangan masyarakat untuk memberi masukan yang penting dalam pembahasan RUU tersebut. (Sby)